Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang berlangsung sejak 2018 terus memicu gelombang ketidakpastian dalam perdagangan global. Konflik ini, yang awalnya dipicu oleh tarif impor AS atas produk China, telah berkembang menjadi persaingan strategis di bidang teknologi, investasi, dan pengaruh geopolitik. Bagi Indonesia, yang selama ini menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada sektor perdagangan, dampaknya tidak bisa diabaikan terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bergerak di bidang ekspor.Â
UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia, dilansir dari detik finance bahwa UMKM menyumbang 61% dari PDB dan menyerap 97% tenaga kerja. Sektor ini juga menjadi ujung tombak diversifikasi ekspor non-migas, dengan produk seperti kerajinan tangan, makanan olahan, tekstil, dan produk pertanian yang mulai menembus pasar global. Namun, di tengah eskalasi perang dagang AS-China, UMKM ekspor Indonesia terjepit antara dua kekuatan besar. Di satu sisi, negara-negara importir makin protektif. Di sisi lain, rantai pasok global juga kacau, yang membuat biaya produksi dan pengiriman melambung tinggi.
Situasi semakin kompleks dengan kebijakan decoupling (pemisahan rantai pasok) AS-China, yang memaksa banyak perusahaan multinasional memindahkan basis produksi ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Meski membuka peluang investasi, hal ini justru meningkatkan tekanan pada UMKM lokal yang harus bersaing dengan perusahaan besar berteknologi tinggi. Di saat yang sama, fluktuasi nilai tukar rupiah dan kenaikan harga energi global turut memperparah keuntungan UMKM.Â
Dampak Langsung Perang Dagang pada UMKM Ekspor
Kebijakan tarif AS terhadap produk China, melansir dari CNBC Indonesia bahwa Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif impor sebesar 145% kepada China. Lonjakan tarif tentu memberikan pengaruh yang besar bagi Indonesia yang merupakan mitra dagang kedua negara tersebut. Contohnya, ekspor tekstil Indonesia ke AS sempat meningkat pada 2022, tetapi di 2023 permintaan global Indonesia dan tekstil kembali mengalami penurunan. Secara tren global, terjadi penurunan permintaan ekspor yang signifikan sebesar 8% untuk keseluruhan produk tekstil. Faktor utamanya adalah penurunan permintaan pada negara importir utama tekstil, yakni Uni Eropa (- 21%) dan USA (-9%) (y-o-y). Hal yang sama terjadi di Indonesia secara tahunan terjadi penurunan sebesar 15,95%, hal ini terjadi karena destinasi ekspor utama Indonesia juga berasal dari kedua negara tersebut.
Disrupsi rantai pasok bahan baku seperti benang, komponen elektronik, dan kemasan yang sebelumnya diimpor dari China kini lebih mahal akibat kenaikan biaya logistik dan penundaan pengiriman. Perubahan pola konsumen pasar ekspor tradisional seperti AS dan Eropa mulai mengurangi impor produk non-esensial akibat inflasi dan resesi, sementara pasar alternatif (Timur Tengah, Afrika) belum sepenuhnya terjamah oleh UMKM Indonesia.Â
Â
Peluang di Tengah Tantangan
Pertama diversifikasi Pasar, Pemerintah Indonesia mendorong UMKM menembus pasar non-tradisional melalui kerja sama dengan negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council) dan Afrika, yang pertumbuhan ekonominya mencapai 4-6%. Menteri Perdagangan RI, Zulkifli Hasan bersama Sekretaris Jenderal Gulf Cooperation Council/GCC, Jasem Mohamed Albudaiwi meluncurkan Perundingan Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia-GCC. GCC merupakan aliansi kerja sama ekonomi dan politik yang beranggotakan enam negara, yaitu Arab Saudi, Persatuan Emirat Arab (PEA), Kuwait, Bahrain, Oman, dan Qatar. Beliau menyampaikan bahwa hubungan dagang antara Indonesia dengan GCC memiliki potensi nilai yang sangat besar
Kedua, digitalisasi ekspor, platform seperti Shopee Export dan Amazon Global Selling memungkinkan UMKM menjual produk langsung ke konsumen global tanpa melalui perantara, mengurangi ketergantungan pada importir besar.
Â