Mohon tunggu...
Arif Meftah Hidayat
Arif Meftah Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Pabrik

Dengan atau tanpa saya menulis, dunia juga tidak akan berubah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Menang

31 Januari 2020   06:01 Diperbarui: 31 Januari 2020   06:31 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam tiga dini hari tapi suasana begitu gerah seperti siang di saban hari. Tidak ada yang diharapkan dari menaiki bus ekonomi ini selain keselamatan sampai tujuan nanti. Mau nyaman berarti berharap penumpang sepi yang juga berarti berharap sang awak bus tak terlalu banyak mendapatkan rejeki. Dan akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah berkompromi pada semua kenyataan yang terjadi.

Selama weekend atau liburan panjang, bus keberangkatan jam satu dini hari ini tidak pernah sepi. Jadwal sebelum ini, bus berangkat jam 8 tadi. Setelah ini, baru ada bus subuh nanti. Jadi bisa dibayangkan apa yang terjadi.

Jam tiga dini hari ketika sampai juga aku pada tujuanku. Belum tujuan akhir, hanya batas akhir jalur bus sebelum aku harus melanjutkan perjalanan dengan transportasi umum lain, ojek.

Jam tiga dini hari yang suasanya kontras dengan yang ada di bus tadi. Suasana musim penghujan yang entah kenapa justru seperti pada puncak musim kemarau. Dingin menusuk tulang.

Aku naik bis bersama istriku. Pulang menuju kampung orang tua ku. Masih sembilan km rumah bapak ibukku dari tempat kami diturunkan dari bis ini. Masih sembilan km dari pangkalan ojek ini.

"Empat puluh ribu Mas satu orang. Saya antarkan sampai tujuan", Tukang ojek menawarkan jasanya.

"Tiga puluh Pak, biasanya saya segitu. Saya tiap minggu segitu"

"Tambah lima ribu Mas. Ini sudah larut. Sudah tidak ada lagi ojek yang jalan", katanya menawar.

"Tiga puluh Pak. Kalau ndak mau biar saya dijemput saja oleh adik-adikku".
Lumayan lama menunggu sampai akhirnya sang ojek bersedia untuk mengantar dengan biaya tiga puluh ribu.

Dan sampai di rumah, uang pas delapan puluh ribu kuberikan untuk biaya mengantarkan dua orang. Sebanyak dua puluh ribu dikembalikan.
"Kan tiga puluh ribu Mas. Kita tadi deal segitu", sang tukang ojek menyodorkan kembaliannya.

"Diambil aja Pak kembaliannya. Saya menawar bukan biar dapat harga murah. Saya menawar hanya untuk membuktikan kalau saya bisa menang. Dan saya merasa menang dari Bapak-Bapak semua. Saya merasa menang  hanya karena tawaran  harga dari saya bisa diterima. Saya sudah bosen mengalah dan kalah terus menerus"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun