Islam Nusantara:Â Sejarah, Ciri Khas, dan Relevansi Modern
Abstrak
Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses panjang yang berlangsung sejak abad ke-7 hingga ke-17 melalui jalur perdagangan, dakwah para ulama, jaringan intelektual, dan peran politik kerajaan-kerajaan Islam. Islam yang berkembang di kawasan tersebut bersifat damai, akomodatif, dan mampu berakulturasi dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas syariat. Model Islam yang muncul kemudian dikenal sebagai Islam Nusantara, yaitu wajah Islam yang mengutamakan inklusivitas, toleransi, dan kearifan lokal. Dalam konteks modern, kajian Islam Nusantara menjadi penting dikarenakan menawarkan model keberagamaan yang relevan untuk menghadapi isu globalisasi, radikalisme, dan dialog antaragama.
Pendahuluan
Islam di Nusantara hadir bukan melalui penaklukan militer, melainkan lewat interaksi sosial-ekonomi dan kultural. Hal ini membedakan corak Islam di Indonesia dengan di Timur Tengah, yang banyak dipengaruhi oleh ekspansi politik kekhalifahan. Proses Islamisasi di Nusantara berlangsung bertahap melalui perdagangan, perkawinan, dakwah sufistik, dan pengaruh kerajaan Islam (Rijal, 2020).
Islam Nusantara dikenal sebagai Islam yang ramah, moderat, dan menghargai tradisi lokal. Ia mampu berdialog dengan budaya tanpa kehilangan substansi keislamannya. Akulturasi ini tercermin dalam tradisi slametan, seni wayang, hingga praktik dakwah Walisongo yang memanfaatkan media seni untuk menjangkau masyarakat luas (Zuhdi, 2019; Huda, 2021).
Dalam era globalisasi, Islam Nusantara mempunyai signifikansi baru. Pertama, ia menjaga identitas keislaman yang selaras dengan budaya lokal, sehingga Islam tetap membumi dalam konteks keindonesiaan. Kedua, ia berfungsi sebagai kontra-narasi terhadap ideologi transnasional yang bersifat radikal dan intoleran (Wahid, 2022; Fadli, 2023). Ketiga, ia memperkuat identitas kebangsaan yang berakar pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, sehingga menjadi bagian integral dari narasi kebangsaan Indonesia (Azra, 2019; Karim, 2024).
Rumusan masalah:
Bagaimana sejarah masuknya Islam ke Nusantara?
Apa yang menjadi ciri khas Islam Nusantara dibanding Islam di kawasan lain?
Bagaimana relevansi Islam Nusantara dalam menghadapi globalisasi dan radikalisme?
Â
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi pustaka. Data diperoleh dari sumber sekunder berupa jurnal ilmiah, buku sejarah, artikel akademik, dan dokumen resmi terkait Islam Nusantara.
Teknik analisis menggunakan content analysis, dengan menekankan pola interaksi Islam dengan budaya lokal. Analisis ini memungkinkan peneliti mengidentifikasi corak Islamisasi yang khas di Nusantara, seperti melalui jalur perdagangan maritim (Basri, 2018), peran kerajaan-kerajaan Islam (Yusof, 2020), serta peran ulama dalam mengembangkan pendekatan dakwah kultural (Huda, 2021).
Hasil dan Pembahasan
 Sejarah Masuknya Islam ke Nusantara
Abad ke-7 M:Â Kontak awal antara pedagang Arab dengan penduduk pesisir Sumatra. Catatan Tiongkok mencatat keberadaan komunitas Muslim di pantai barat Sumatra (Rijal, 2020).
Abad ke-13 M:Â Berdirinya Kesultanan Samudera Pasai menjadi tonggak penting penyebaran Islam. Pasai juga dikenal sebagai pusat studi Islam yang melahirkan jaringan ulama Asia Tenggara (Yusof, 2020).
Abad ke-15--16 M: Peran Walisongo di Jawa sangat menentukan. Mereka menggunakan pendekatan kultural---wayang, gamelan, arsitektur masjid tradisional---sebagai media dakwah (Zuhdi, 2019).
Perkembangan sosial:Â Islam tersebar melalui pesantren, perkawinan antara pedagang Muslim dengan penduduk lokal, serta pengaruh tasawuf yang menekankan spiritualitas dan harmoni (Basri, 2018).
Abad ke-17 M:Â Kerajaan-kerajaan besar seperti Aceh, Demak, Mataram, Ternate-Tidore, dan Gowa-Tallo memperkuat Islam sebagai kekuatan politik regional, sekaligus menghubungkannya dengan jaringan global dunia Islam.
Konsep dan Karakteristik Islam Nusantara
Moderasi dan inklusivitas:Â Islam Nusantara menekankan prinsip rahmatan lil alamin, menghindari kekerasan, dan mengedepankan musyawarah (Azra, 2019).
Akulturasi budaya:Â Tradisi lokal diakomodasi selama tidak bertentangan dengan syariat. Contoh: slametan, sekaten, gamelan dakwah, serta seni kaligrafi yang khas Jawa.
Spiritualitas sufistik: Tasawuf menjadi kunci penerimaan masyarakat lokal. Ajaran Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri memperkuat fondasi spiritual Islam di wilayah Melayu (Huda, 2021).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI