Birokrasi, Masyarakat, dan Roadmap yang Hilang
Kalau kita bicara tentang birokrasi di negeri ini, kebanyakan orang langsung menghela napas. Urus KTP harus bolak-balik. Urus izin usaha, kadang masih diminta fotokopi berlapis-lapis. Padahal kita sudah masuk era digital. Katanya semua bisa online, tapi faktanya kadang server mati, data tidak sinkron, ujung-ujungnya kembali ke meja manual.
Sudah puluhan tahun kita mendengar jargon reformasi birokrasi. Dari masa Orde Baru, Reformasi 1998, hingga era digitalisasi sekarang. Tapi masalah mendasarnya tetap sama: lambat, berbelit, dan rawan pungli.
Apakah birokrat kita bodoh? Tidak. Banyak dari mereka pintar, bahkan lulusan universitas ternama. Apakah sistem kita buruk? Ya, sebagian memang. Tapi masalah terbesarnya justru karena pembenahan birokrasi selalu dianggap sebagai pekerjaan rumah birokrat semata. Padahal, tanpa partisipasi masyarakat dan roadmap yang konsisten, hasilnya hanya tambal sulam.
Birokrat Bukan Superman
Birokrat itu manusia biasa. Ada yang jujur, ada yang malas, ada yang rajin, ada yang oportunis. Tidak semua bisa kita harapkan bekerja seolah malaikat. Mereka tetap butuh dorongan eksternal.
Kalau masyarakat hanya diam, birokrat akan bekerja sebisanya. Kalau masyarakat ikut mengawasi, memberi masukan, bahkan menekan, birokrat terdorong untuk bekerja lebih transparan.
Ibarat dokter: sehebat apapun dokter, kalau pasien tidak disiplin minum obat, penyakitnya takkan sembuh. Begitu juga birokrasi. Sehebat apapun regulasi, kalau masyarakat tidak ikut serta, maka birokrasi akan kembali ke pola lama.
Masyarakat Bukan Penonton
Sayangnya, masyarakat kita sering hanya jadi penonton. Kita hanya marah kalau pelayanan lambat. Kita hanya mencaci kalau ada pungli. Tapi apakah kita ikut aktif melapor? Ikut memberi masukan berbasis data? Atau sekadar menyalurkan kritik di media sosial?
Contoh baik sebenarnya sudah ada. Di beberapa kota, masyarakat bisa melapor jalan rusak lewat aplikasi. Pemerintah daerah merespons cepat. Hasilnya terasa. Tapi di daerah lain, masyarakat hanya pasrah. Atau kalau bersuara, hanya dengan makian tanpa solusi.