Mohon tunggu...
Arif Nurdiansah
Arif Nurdiansah Mohon Tunggu... lainnya -

@arifnurdiansah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Caleg Perempuan?

28 Maret 2014   00:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejarah panjang mencatat bahwa perempuan identik dengan tindakan diskriminasi. Untuk menghilangkannya, negara telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) menjadi UU Nomor 7 tahun 1984.

Lebih lanjut, negara juga menerapkan kebijakan afirmasi berupa 30 persen kuota perempuan dalam politik sebagai bentuk percepatan kesetaraan perempuan dalam politik, salah satunya melalui parlemen. Hal ini seperti dijelaskan pada pasal 28 amandemen UUD 1945, UU Nomor 39 tahun 1999, UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Penyelenggara Pemilu.

Realita

Ironisnya, setelah lebih dari 25 tahun ratifikasi, kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik belum dapat diterapkan. Tercatat dari pemilu ke pemilu anggota perempuan di parlemen tidak pernah mencapai kuota, tahun 1999 hanya 9,2 persen atau 46 orang dari total jumlah anggota. Tahun 2004, proporsinya meningkat jadi 11,81 persen atau 61 orang. Peningkatan cukup besar terjadi pada Pemilu 2009, yakni 18 persen atau 103 orang.

Kendati mengalami peningkatan secara kuantitas, namun kenyataannya perempuan jauh dari kata terwakili” dan masih terdiskriminasi. Salah satu penyebabnya karena regulasi yang ada tidak didukung oleh banyak pihak, salah satunya partai politik (Parpol). Sebagai satu-satunya lembaga yang berhak mengajukan Caleg, Parpol membelokkan tujuan kuota, dari meningkatkan jumlah perempuan di parlemen guna melindungi dan mengakomodasi kepentingan perempuan menjadi hanya bagian dari cara mempertahankan eksistensi partainya di tengah derasnya tuntutan aktivis perempuan yang didukung media massa, dan sebagai alat untuk melanggengkan dinasti politik.Buktinya, alih-alih mencari kader perempuan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam isu gender, kuota seringkali dimanfaatkan untuk sekedar meningkatkan elektabilitas melalui penempatan perempuan-perempuan public figure/artis, atau perempuan anggota keluarga pimpinan partai.Ini terbukti dari banyaknya perempuan yang berada di DPR periode 2009-2014 di dominasi oleh mereka yang berlatar belakang artis, atau keluarga pimpinan partai.

Di sisi lain, peningkatan jumlah tidak berbanding lurus dengan kinerja perempuan di parlemen, terutama dalam hal memperjuangkan isu kesetaraan gender. Mendekati akhir masa jabatannya, anggota perempuan parlemen belum memberikan kontribusi signifikan. Data Komnas Perempuan masih mencatat adanya UU yang tidak memiliki perspektif gender seperti dalam UU Perkawinan, UU KUHAP dan UU KUHP tidak direvisi. Terlebih, mereka juga tidak berhasil memperjuangkan RUU kesetaraan gender, dan cenderung mendiamkan adanya207 perda diskriminatif terhadap perempuan, ditambah beberapa anggota perempuan parlemen yang muncul ke permukaan justru tersangkut kasus korupsi.

Tapi, pertanyaannya kemudian apakah itu dijadikan alasan bagi publik untuk tidak percaya kepada perempuan di Pemilu 2014? Sekaligus menjadi sebuah pembenaran bagi laki-laki yang selama ini menguasai arah kebijakan di parlemen?

Pentingnya Kuota

Menurut Judith Squires (2007), ada tiga alasan mengapa kuota perempuan di parlemen tetap penting. Pertama, kuota akan menciptakan adanya women agency (salah satu contohnya adalah kaukus parlemen) yang dapat menjadi perpanjangan tangan perempuan dalam menyuarakan dan memperjuangkan regulasi yang sensitif jender pada arena pengambil kebijakan.Semakin banyak jumlah anggotanya akan semakin kuat perjuangan yang dapat dilakukan.

Kedua,kuota perempuan akan memastikan adanya kebijakan adil terhadap jender untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip mainstreaming gender di integrasikan dalam tiap tahapan pengambilan kebijakan. Ketiga, kuota perempuan dapat menyasar pada peningkatan kuantitas jumlah perempuan di berbagai institusi pengambilan keputusan secara singkat sebagai tindakan khusus sementara(affirmative action).

Timor-Leste menjadi bukti terbaru bagaimana peningkatan jumlah perempuan di parlemen mampu menghasilkan produk regulasi pro gender di sebuah negara. Pada periode 2007-2012 jumlah perempuan dalam parlemen sebesar 21 orang (32,2 persen) dari total 65 anggota parlemen.

Dengan jumlah lebih dari 30 persen, Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) Timor-Leste mampu berperan secara maksimal sebagai women agency. Buktinya, periode 2007-2012 mereka mampu menghasilkan sekian UU yang responsif jender, salah satunya UU Domestic Violence/Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

KPP juga mampu mengamandemen UU Pemilu untuk semakin menguatkan posisi perempuan. Pasal 12 Ayat 3 Nomor 12 Bagian 3 yang sebelumnya mengatakan partai wajib menempatkan satu perempuan dalam setiap empat calon legislatif, di amandemen menjadi dalam tiga calon partai wajib menempatkan satu perempuan. Usaha tersebut terbukti efektif meningkatkan kuota, hasil Pemilu 2012 menempatkan perempuan di parlemen sebesar 24 orang (35 persen) dari total 65 anggota.

Indonesia seharusnya mampu paling tidak menyamai atau bahkan melampaui apa yang telah dicapai Timor Leste, baik dalam kuota maupun prestasi. Caranya adalah dengan memilih Caleg perempuan pada Pemilu legislatif 2014, karena kita tidak dapat berbicara kualitas tanpa mengedepankan kuantitas.

Kuota perempuan adalah target yang realistis, sebab 49,83 persen dari total populasi penduduk Indonesia (BPS, 2010) adalah perempuan. Terlebih pada Pemilu 2014 kali ini jumlah DPT yang dirilis KPU, perbedaan antara pemilih perempuan dan laki-laki tidak lebih dari 268 ribu (laki-laki sebanyak 93.418.119, dan perempuan 93.151.087 pemilih).

Dalam sebuah negara demokrasi, parlemen menjadi satu-satunya alat negara yang berfungsi merumuskan dan mengesahkan regulasi, salah satunya UU.Untuk itu, memilih caleg perempuan adalah bagian dari upaya memperjuangkan hak-hak perempuan. Sebab, jika tidak melalui parlemen, dimana lagi mereka akan memperjuangkan hak-haknya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun