Mohon tunggu...
Arief Maulana
Arief Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti di Setjen DPD RI

As there is only one God in the universe, there should be only one love in this world.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Problematika Bantuan Sosial di Indonesia: Di Antara Bayang-Bayang Politik Citra dan Korupsi yang Merajalela

25 Agustus 2021   15:50 Diperbarui: 25 Agustus 2021   16:06 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahap penyaluran, bansos dalam bentuk uang diberikan secara tunai maupun lewat transfer ke rekening bank penerima bansos atau bank penyalur.  Adapun penyaluran bansos dalam bentuk barang didahului dengan proses pengadaan barang/jasa untuk kemudian diberikan secara langsung kepada penerima bansos. Metode inilah yang digunakan Kemensos untuk penyaluran bantuan bahan pokok bernilai puluhan triliun rupiah yang kemudian bermasalah.

Dengan demikian, masalah ketiga pelaksanaan bansos adalah korupsi pengadaan. Dalam korupsi bansos Covid-19, kontraktor pengadaan diduga memberikan "upah" kepada pejabat di Kemensos atas penunjukannya sebagai penyedia paket-paket bansos pandemi. Selain itu, proses penyaluran bansos juga menyimpan masalah lain. Misalnya, penyaluran kepada calon penerima fiktif, atau penyaluran kepada kroni-kroni pejabat publik dengan tujuan agar dana bansos masuk ke kantong pribadi atau kelompok tertentu.

Masalah politisasi dan korupsi bansos tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan prosedural. Akarnya ada pada dua hal yang saling berkaitan, yaitu pola hubungan patron-klien yang masih dominan dalam struktur masyarakat, dan politik berbiaya tinggi dalam sistem demokrasi Indonesia. Pola hubungan patron-klien adalah satu karakteristik masyarakat tradisional agraris. Dalam hubungan ini, seorang patron yang taraf sosio-ekonominya lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan atau manfaat kepada klien yang status sosio-ekonominya lebih rendah, dengan timbal balik berupa dukungan personal kepada sang patron.

Pola yang informal timbal balik ini mengakar dan tidak lenyap dengan datangnya era demokrasi elektoral. Ajang kompetisi demokrasi justru menjadi semacam sarana bagi hidupnya politik klientelistik. Patron-patron baru, yaitu para politikus yang berkompetisi dalam ajang pemilihan umum, berupaya untuk mendapatkan dukungan suara dari pemilih (klien) lewat pemberian materi baik itu berupa uang, barang, maupun jasa. Politikus yang memiliki akses ke sumber daya keuangan publik dapat menggunakan bansos untuk memperoleh dukungan suara dari pemilih.

Ada beberapa alasan mengapa klientelisme bertahan --bahkan berkembang-- di tengah perubahan sosial yang sangat masif. Salah satunya adalah kemiskinan. Masyarakat miskin lebih cenderung menerima materi yang tidak seberapa dari para politikus ketimbang menuntut kebijakan yang lebih komprehensif atas permasalahan hidup yang mereka hadapi.

Sementara itu, iklim politik berbiaya tinggi di Indonesia menuntut modal besar dari politikus untuk membiayai pencalonan dan kampanye politik. Korupsi anggaran publik --termasuk bansos-- menjadi suatu jalan untuk memenuhi tuntutan ini. Mahalnya biaya politik di Indonesia disebabkan antara lain oleh mahar tinggi yang diminta partai politik sebagai salah satu syarat pencalonan, biaya kampanye yang tinggi karena kandidat harus menggerakkan mesin politik pribadi, dan lemahnya pelembagaan pembiayaan politik.



POLITIK CITRA DALAM BANTUAN SOSIAL

Laporan Charity Aid Foundation 2019 menempatkan rakyat Indonesia sebagai negara paling dermawan. Laporan yang memuat The World Giving Index 2019 ini mengukur perilaku warga negara untuk membantu orang yang tidak dikenal, berdonasi uang, dan ikut berpartisipasi dalam gerakan kesetiakawanan sosial (liputan6.com, 2019)[2].

Ketika badai pandemi Covid-19 mulai menerjang Indonesia, kelompok masyarakat sipil pun ikut tergerak. Di sana tak ada kepentingan pencitraan. Sejumlah pengusaha, rakyat biasa, dan media menggalang dana untuk membantu sesama. Ikatan emosional sesama manusialah yang membuat gerakan voluntarisme itu bergerak leluasa, tanpa batas dan sekat partai.

Kekuatan masyarakat sipil yang luar biasa inilah yang harus terus dirawat dan dikembangkan. Itulah modal kekuatan utama yang bergerak atas dasar kemanusiaan dan kebangsaan. Kekuatan masyarakat sipil itulah modal sosial yang bisa memperkuat daya tahan sosial Indonesia sebagai sebuah bangsa. Tulisan The Diplomat oleh Shane Preuss (thediplomat.com, 2020), mendeskripsikan bagaimana kekuatan masyarakat sipil Indonesia yang luar biasa dan membuat bangsa ini berdaya tahan tinggi.

Namun demikian, kedermawanan masyarakat jangan sampai dirusak oleh politisi murahan yang memanfaatkan bansos korban pandemi untuk kepentingan elektoralnya. Sebenarnya, kultur politisasi bansos sudah terjadi sejak lama di dunia politik tanah air. Di Indonesia, praktik ini marak dilakukan setidaknya sejak era pemerintahan Presiden SBY meluncurkan bantuan langsung tunai (BLT). Politisasi bansos merupakan salah satu trik kampanye dalam dunia politik. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi. Trik ini masuk dalam kategori money politic yang serupa dengan serangan fajar jelang pencoblosan ketika pemilu. Perbedaannya, pork barrel selalu 'berbalut' kewenangan pemerintah dalam mengelola anggaran sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun