Mohon tunggu...
Arie Tuanggoro
Arie Tuanggoro Mohon Tunggu... Konsultan - Pengacara

Direktur LBH Pendidikan, Ketua DPC IKADIN Jakarta Timur, Kadiv Advokasi Komite Aksi Difabel Indonesia (KADI), anggota Tim Advokasi Untuk Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perppu KPK dan Bangkitnya (Kembali) Gerakan Moral Mahasiswa Pelajar

18 Oktober 2019   22:37 Diperbarui: 18 Oktober 2019   22:44 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Metode perjuangannya sendiri bisa dilakukan melalui menulis di media massa, forum-forum diskusi, semiloka, advokasi ke rutan atau pendampingan kaum marjinal tertindas hingga aksi damai unjuk rasa/demonstrasi. Terakhir, mahasiswa berperan sebagai generasi penerus bangsa (iron stock).

Lalu apa hubungan dengan pelajar? Relevansi dengan gerakan pelajar sangat jelas. Pelajar yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi sudah dipastikan akan menjadi mahasiswa yang memiliki embrio 4 unsur kepedulian tadi sebab republik ini dibangun bukan atas dasar individualistik ala barat melainkan dibangun di atas konstruksi komunal gotong royong. Muaranya sudah pasti mahasiswa dianggap cakap mengisi kemerdekaan serta melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa.                

Aksi demonstrasi mahasiswa pelajar akhir September lalu dan jelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih tanggal 20 Oktober 2019 besok pantas disebut sebagai gerakan moral dengan indikatornya ialah : menolak melakukan aliansi dengan gerakan politik massa tertentu, murni memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang mereka yakini tanpa meminta pamrih dari perjuangan aksi unjuk rasanya tersebut, fokus tuntutan dan koreksi atas kebijakan rezim, dengan outputnya tidak lain adalah aksi unjuk rasa mahasiswa pelajar tersebut sebagai manifestasi diri mereka menjadi agen perubahan (agent of change) dari kebijakan rezim. 

Hal ini tampak jelas saat mahasiswa pelajar menolak dukungan dan bergabung dengan aksi unjuk rasa 212 pada Sabtu tanggal 28 September 2019. Mengapa menolak? Sebab substansi tuntutan gerakan moral mahasiswa pelajar berbeda dengan alumni 212. Mahasiswa pelajar terfokus kepada perbaikan rezim, entah koreksi regulasi rezim ataupun koreksi atas pelaksanaan regulasi itu sendiri. 

Gerakan moral mahasiswa pelajar tidak baper sehingga tidak menuntut presiden untuk mundur serta tidak pernah menuntut pembubaran parlemen karena unsur trias politica tersebut telah terpilih secara konstitusional dan legitimate oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Mahkamah Konstitusi (MK). 

Justru gerakan mahasiswa pelajar menuntut agar presiden, parlemen hingga yudikatif ikut bersama-sama bertanggungjawab memperbaiki kekisruhan yang terjadi. Disinilah independensi gerakan moral mahasiswa pelajar dilandasi oleh ketulusan.


Gerakan moral mahasiswa pelajar menuntut agar presiden dan seluruh elit kekuasaan tetap mengawal amanat reformasi yang selaras dengan Nawacita khususnya dalam aspek penegakan supremasi hukum, pemberantasan budaya KKN serta penegakan budaya demokrasi yang rasional dan egaliter. Menerbitkan Perppu KPK merupakan salah satu unsur dari amanat reformasi dan program Nawacita dalam hal pemberantasan KKN. 

Perppu sendiri bukanlah produk hukum yang tabu melainkan telah diatur secara tegas dalam Pasal 22 UUD 1945, Pasal 1 angka 4 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan dipertegas dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 57 s.d Pasal 61 Peraturan Presiden No.87/2014 mengenai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ada hal yang cukup menggelitik menyangkut kontroversi diterbitkannya Perppu KPK. 

Dalam Pasal 58 ayat (1) ditegaskan bahwa "Presiden menugaskan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepada menteri yang tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut sebagai Pemrakarsa...".  Padahal saat itu aksi unjuk rasa sedang menggelora namun mendadak terjadi peralihan jabatan Menkum HAM kepada Pelaksana Tugas (Plt).

Dalam hal penegakan supremasi hukum sikap tegas Kapolri Tito sebagai unsur yudikatif patut diapresiasi dengan langsung melakukan mutasi/pencopotan 3 pimpinan Polri di level provinsi yaitu Kapolda Papua (kerusuhan Wamena), Kapolda Riau (terdampak karhutla) dan Kapolda Sulawesi Tenggara (gugurnya 2 mahasiswa). 

Terlepas mutasi tersebut sebagai "sinyal hukuman administratif" atas beberapa kasus yang menjadi sorotan publik akhir-akhir ini, namun kita tetap menunggu langkah konkrit Kapolri untuk membentuk tim independen pencari fakta atas penangkapan, pemukulan dan penganiayaan oleh oknum-oknum Polri saat penanganan unjuk rasa mahasiswa pelajar di Jakarta dan Kendari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun