Mohon tunggu...
Arie Saptaji
Arie Saptaji Mohon Tunggu... -

Penulis serabutan, peternak teri, dan tukang nonton. Ia juga aktif menerjemahkan, menyunting naskah, mengerjakan ghostwriting, dan mengadakan pelatihan menulis dengan metode ART. Untuk bekerja sama, silakan menghubungi ariesaptaji@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sendiri

4 Maret 2011   00:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:05 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hutan pinus jumprit melambai-lambai

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Hutan pinus Jumprit, Ngadirejo, Temanggung, Jateng"][/caption] 1. malam yang melayap sepi menggulung sendiri jauh di hati kangenku yayi senyummu merekah api tembang cengkerik lirih-lirih di matamu terlihat jirih rasa gelisah di dadaku menghampar merah mari sini kukecupi rikmamu wangi 2. membuka kinanti lantunan angin abadi mengusap rembulan wajahnya sendu lubang jauh di langit biru (di dadaku bersemayam rindu) gelanggang yang senyap kehilangan lagu gegap bocah malam berlari-lari tak peduli rembulan sunyi zaman ini tak untuk bernyanyi-nyanyi 3. paman doblang sayang dongengkan timun mas yang hilang di antara jerit walang bobok sendiri dekapan emak tak lagi menghangati aduh yayi ke mana pergi mau kucari 4. kudengar dercik kali bunyinya menyentuh hati mengalir jauh bergulir-gulir dibawa angin menuju desir berenanglah mandi di sini tapi bawa api di bawah dadap ada kabut merayap dinginnya, duh, subuh lindap 5. kembang-kembang liar warnanya merah ronanya segar yayi selipkan di telinga kembangku ini kupandang secerah pagi pipimu merah merona bibirmu merah kesumba aku semakin gandrung mengalahkan mendung tapi yayi hati yang sendiri sepi di garang matahari senandungku jauh ditangkap gembala lusuh kambing-kambing berlari menerjang kembang kita, yayi 6. lucunya kamu melengking-lengking tenggorokan yang garing musim ini benar-benar kering lihat ranting-ranting seekor burung terusik sarangnya anaknya menciap ditinggal terbang menggigil dan gemetar bulunya mari yayi, kita bawa pulang di rumah ada bulir-bulir padi sisa makan tadi pagi burung kecil berkulit tipis rupanya ia menangis rupanya ia menangis, yayi seperti kita, ia pun sendiri 7. senja cepat memenggal hari memenggal seleret simponi aku gigil ini jiwa jadi kerdil tak berani menghadap malam yang datang melayang dan diam kau pergi aku sendiri mencoba berdiri siapakah yayi jawabnya teka-teki *** Dimuat di Majalah Hai no.27/X, 8-14 Juli 1986.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun