Mohon tunggu...
Alexander Arie
Alexander Arie Mohon Tunggu... Administrasi - Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Penulis OOM ALFA (Bukune, 2013) dan Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Dapat dipantau di @ariesadhar dan ariesadhar.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ada Politisi yang Tampaknya Lupa Mendidik Anak Sendiri

25 November 2019   14:44 Diperbarui: 25 November 2019   15:05 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di Indonesia itu banyak orang benar dan banyak juga yang merasa benar. Penyebabnya sih common sense yang berbeda. Nah, masalahnya di Indonesia ini ada status politisi yang hobinya adalah merasa benar dan cenderung untuk membenarkan orang lain. Paling gampang ya lihat saja debat-debat tentang politik. Isinya ya nggak jauh-jauh dari perdebatan karena semua merasa benar. Dan semakin ke sini, debat-debat itu juga memperlihatkan attitude yang semakin tidak layak ditiru. 

Saya selalu berpikir bahwa attitude dan pola pikir common sense itu asalnya ya dari rumah, dari keluarga. Ketika para politisi yang hobinya debat baik di televisi maupun di media sosial itu punya keluarga, apakah anaknya diajarkan hal yang sama? Entahlah. Tapi kemarin saya mendapat sebuah hal menarik.

Alkisah, karena keterbatasan waktu dan pilihan, seperti biasa saya dan anak saya menghabiskan akhir pekan di mal. Pilihannya nggak jauh-jauh dari playground untuk anak. Mamanya masuk di hari Minggu untuk stock opname, sementara Eyangnya yang kebetulan sedang di rumah lagi ada deadline untuk submit tulisan. Jadinya, ya hanya saya dan si bocah saja berdua. Buat saya sih sudah biasa.

Pada playground yang dia pilih ada suatu wahana yang terdiri dari batuan kecil menyerupai pasir, lengkap dengan perangkat permainan seperti ember, excavator mini, buldozer mini, truk mini, dan beberapa alat lainnya. Layaknya mandi bola, posisi wahana itu seperti bak mandi. Logika umum saya adalah kalau mandi bola atau apapun yang sejenis, sepatu mestinya dicopot. Buat saya itu common sense saja. Maka, anak saya yang sudah ngebet mau manjat saya cegah dulu karena harus melepas sepatu.

Bagaimanapun sepatu anak itu datang dari luar mal, bisa ada tanah, bisa ada pasir, salah-salah ya kotoran hewan atau permen karet. Intinya: kotor. Meskipun wahana itu sendiri juga belum tentu dijamin kebersihannya, tapi mari berpikir positif bahwa wahana dengan harga masuk lebih dari 75 ribu per anak adalah wahana yang rajin dibersihkan.

Lagi asyik-asyik main, lah tiba-tiba anak cowok melompat dalam posisi MASIH PAKAI SEPATU. Pada saat yang sama, ada juga adiknya, dan tampaknya kakaknya. Sudah besar-besar, sih. Saya taksir sang anak cowok sudah SD kelas awal. Kalau dibandingkan dengan bocah saya yang 2 tahun lewat sedikit ya jelas sekali bedanya. Bahkan adiknya sang anak cowok juga lebih tua dari anak saya. Dan adiknya itu pun memasuki wahana dengan sepatunya.

Saya sejujurnya geram. Ketika saya mencoba untuk peduli pada lingkungan dengan meminta anak saya membuka sepatunya sebelum masuk wahana, tiba-tiba ada anak lain yang masuk ke lokasi yang sama dengan sepatunya. Saya penasaran, orangtuanya gimana sih? Karena pernah kejadian di playground lain bahwa ada anak kurang ajar, tapi ya ternyata yang menemani cuma neneknya dan itupun sudah sepuh. Mau marah ya nggak jadi juga.

Begitu kemudian orangtuanya datang, waduh, bukan kaleng-kaleng. Pendidikannya jelas tinggi, kalau saya googling sih S3. Pekerjaannya? Kurang lebih ya politisi. Waktu periode pilpres kemarin, sosoknya sering sekali muncul dalam berbagai kesempatan karena posisinya cukup tinggi dalam struktur salah satu Capres.

Apa yang dilakukan sang politisi di tempat itu, melihat anaknya berlarian dengan sepatu terpasang? Sejauh saya lihat sih nggak ada. Cukup lama anak-anaknya wira-wiri dengan mengenakan sepatu dalam wahana permainan tersebut. Anak-anak tersebut baru melepas sepatunya pada kesempatan kedua terjun ke wahana yang sama, setelah sebelumnya mencoba wahana lain pada tempat bermain yang sama.

Sebagai rakyat jelata yang tidak punya akses pada para petinggi di pucuk sana, saya hanya bisa mengelus dada saja. Bagaimana mungkin orang-orang yang punya pengaruh pada kebijakan publik melalui posisinya bahkan tidak menanamkan common sense kepada anak-anaknya, kepada generasi penerusnya sendiri? Lantas apakah rakyat jelata seperti saya bisa berharap bahwa sang politisi akan bisa menanamkan kebaikan kepada generasi muda lain yang bukan anak-anaknya?

Saya sendiri tengah studi lanjut dalam bidang kebijakan publik. Semakin belajar, saya semakin tahu bahwa faktor politik dan politisi adalah salah satu kunci dalam terwujudnya suatu kebijakan publik di negeri ini. Partisipasi rakyat, meskipun secara teoretis diakui sebagai elemen kebijakan publik, nyatanya ya kadang diabaikan juga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun