"Gletser mencair, masa depan kita ikut luruh. Saatnya bertindak sebelum semuanya terlambat!"
Setiap tahun, tanggal 22 Maret diperingati sebagai Hari Air Sedunia atau World Water Day. Peringatan ini bukan sekadar seremoni, tapi ajakan global untuk lebih peduli terhadap sumber daya air yang semakin terbatas.
Tahun 2025, tema yang diangkat adalah Pelestarian Gletser (Water for Peace). Tema ini menyoroti pentingnya gletser dalam menjaga keseimbangan air di dunia. Meski Indonesia bukan negara bersalju, kita tetap harus peduli.
Mengapa? Karena pencairan gletser punya dampak besar terhadap iklim, pola hujan, hingga ketersediaan air bersih di negeri kita.
Nah, pernah kepikiran nggak kalau pencairan gletser di kutub bisa bikin musim hujan kita jadi makin nggak menentu?
Misalnya, tiba-tiba hujan deras di saat seharusnya kemarau, atau malah kemarau panjang saat kita butuh air. Kebayang nggak kalau ini terus terjadi?
Gletser: Penjaga Air Tawar yang Terancam
Gletser adalah cadangan air tawar terbesar di dunia, menyimpan sekitar 70% air bersih yang kita butuhkan. Menurut data terbaru dari National Snow and Ice Data Center (NSIDC), sekitar 69% dari total air tawar di Bumi tersimpan dalam es dan gletser.
Sumber daya ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan ketersediaan air di berbagai belahan dunia. Pegunungan Himalaya, Alpen, hingga es di Kutub Utara dan Selatan berperan sebagai freezer alami yang menjaga kestabilan suhu bumi.
Saat gletser mencair lebih cepat dari yang seharusnya, dampaknya bisa dirasakan di seluruh dunia.
Gletser memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Salah satunya adalah sebagai sumber air tawar bagi banyak sungai besar di dunia, seperti Gangga di India dan Mekong di Asia Tenggara, yang bergantung pada es yang mencair secara alami.
Jika pencairan ini terjadi lebih cepat, siklus air akan terganggu dan berpotensi menyebabkan krisis air di wilayah-wilayah yang bergantung padanya.