Dulu, saya berpikir dunia investasi hanya milik orang-orang berkemeja necis di gedung-gedung tinggi. Sementara saya, seorang guru SD negeri di sudut kota Jakarta, hanya perlu cukup dengan gaji bulanan, sedikit tambahan honor, dan harapan bahwa THR datang tepat waktu.
Tapi hidup ternyata tidak selalu ideal. Penghasilan sebagai guru, meski disebut pengabdian, seringkali hanya cukup untuk kebutuhan hidup yang makin mahal. Maka mulailah saya, seorang bapak bapak yang kebetulan berprofesi sebagai guru biasa, menyelami dunia yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya: crypto.
Awalnya iseng, hanya ikut-ikutan. Tapi perlahan saya mulai belajar: apa itu blockchain, bagaimana cara kerja bitcoin, hingga mengerti konsep supply and demand yang menggerakkan harga. Semua terasa seperti membuka jendela ke dunia baru yang dinamis, cepat, dan-jujur saja-menggiurkan.
Lalu saya melihat satu potongan video podcast dari Akademi Crypto berisi percakapan antara Timothy Ronald dan Kalimasada, dua orang anak muda yang sering bahas investasi. Ia berkata di podcastnya:
"Kalau kamu cuma muter-muter nunggu gajian tanpa pernah beli aset, itu sama aja kayak main Monopoli tapi cuma jalan keliling papan. dan dapat uang setiap melewati kotak START, lalu duitmu habis buat bayar orang lain yang punya aset."
Kalimat itu menghantam saya.
Karena sebagai guru, saya sadar-betapa sering saya hanya jadi pemain keliling papan. Gaji masuk, lalu keluar lagi untuk cicilan, sembako, kuota internet, dan kalau ada sisa habis untuk rekreasi Bersama anak-anak di akhir pekan. Tak ada yang benar-benar "dimiliki" dalam arti aset. Saya bekerja, tapi tak sedang membangun masa depan.
Investasi yang Paling "Bisa Dikerjain"
Dibandingkan emas yang harus beli ke toko, properti yang harganya ratusan juta, atau reksa dana yang butuh waktu belajar, saya justru merasa bitcoin itu investasi yang paling bisa saya kerjakan sebagai guru.
Modalnya kecil, bisa dicicil, bisa dimulai bahkan dengan Rp10.000. Saya tak perlu rekening khusus atau modal besar. Cukup HP dan kemauan untuk belajar.
Saat saya mengajar anak-anak tentang pentingnya masa depan dan berpikir kritis, saya pun mulai mengajarkan diri saya hal yang sama: berpikir lebih panjang soal keuangan, soal pensiun, soal kebebasan finansial.
Tapi... Apakah Ini Judi?
Di sinilah dilema batin saya dimulai.
Karena di lingkup sosial saya, tak sedikit yang menganggap bitcoin itu judi berkedok digital. Ada yang bilang ini haram, ada yang menyamakan dengan MLM, ada pula yang mengaitkannya dengan peretasan dan pencucian uang.
Saya mulai mempertanyakan diri:
Apakah saya, seorang guru sekaligus pengajar nilai-nilai moral, sedang terseret ke dalam dunia yang keliru?
Saya paham betul kekhawatiran itu. Volatilitas harga bitcoin memang tinggi, dan tidak semua orang masuk dengan pengetahuan yang cukup. Tapi saya juga belajar bahwa dalam dunia crypto, ilmu adalah pelindung utama.
Seperti dalam dunia pendidikan: orang yang tidak paham metode, bisa tersesat dalam mengajar.
Belajar Menyaring dan Bertanggung Jawab
Saya tidak buru-buru mengajak orang ikut. Saya pun tidak pernah bilang bahwa ini pasti untung. Tapi saya percaya, belajar hal baru dan mengelola risiko adalah bagian dari kemajuan berpikir.
Sebagai guru, saya juga belajar menjadi murid: membuka buku, menonton video edukasi, berdiskusi, bahkan mengalami kerugian kecil sebagai ongkos belajar. Semua saya jalani bukan karena serakah, tapi karena saya ingin memahami dunia baru yang sedang tumbuh dan bisa jadi penting di masa depan.
Bitcoin, bagi saya, bukan soal cepat kaya. Tapi soal kemandirian, kesadaran, dan keputusan finansial yang bertanggung jawab. Dan yang paling penting, saya tidak melupakan akar profesi saya: mendidik.
Jika suatu saat saya cukup paham, saya ingin mengenalkan konsep literasi keuangan dan aset digital ke anak-anak didik saya. Tentu dengan pendekatan yang sesuai usia dan nilai. Bukan untuk membuat mereka jadi trader, tapi agar mereka tidak buta terhadap dunia yang kelak akan mereka hadapi.
Jalan Tengah Guru Modern
Antara idealisme dan realitas, antara gaji tetap dan harga kebutuhan yang melambung, guru hari ini harus lebih dari sekadar pengajar. Kita harus menjadi pembelajar aktif.
Bitcoin hanyalah salah satu simbol dari perubahan zaman. Dan saya memilih untuk tidak menutup mata.
Saya mungkin belum punya rumah, belum punya banyak tabungan, dan belum jadi investor hebat. Tapi saya percaya: dengan terus belajar dan bertanya, saya bisa menjadi guru yang tidak sekadar muter-muter di papan Monopoli.
referensi :
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Statistik Pendidikan 2023. Pusdatin Kemendikbudristek.
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2022). Literasi dan inklusi keuangan Indonesia 2022. https://www.ojk.go.id
- Postingan Instagram Akademi Crypto : https://www.instagram.com/reel/DKBVgwnJEKc/Â
- Fatwa MUI. (2021). Fatwa DSN-MUI No. 123/DSN-MUI/II/2021 tentang aset kripto sebagai komoditi. Dewan Syariah Nasional MUI
- Nakamoto, S. (2008). Bitcoin: A peer-to-peer electronic cash system. https://bitcoin.org/bitcoin.pd
- Coinvestasi. (2023, Desember 5). Bitcoin bukan judi: Memahami perbedaan spekulasi dan investasi digital. https://coinvestasi.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI