Karena di lingkup sosial saya, tak sedikit yang menganggap bitcoin itu judi berkedok digital. Ada yang bilang ini haram, ada yang menyamakan dengan MLM, ada pula yang mengaitkannya dengan peretasan dan pencucian uang.
Saya mulai mempertanyakan diri:
Apakah saya, seorang guru sekaligus pengajar nilai-nilai moral, sedang terseret ke dalam dunia yang keliru?
Saya paham betul kekhawatiran itu. Volatilitas harga bitcoin memang tinggi, dan tidak semua orang masuk dengan pengetahuan yang cukup. Tapi saya juga belajar bahwa dalam dunia crypto, ilmu adalah pelindung utama.
Seperti dalam dunia pendidikan: orang yang tidak paham metode, bisa tersesat dalam mengajar.
Belajar Menyaring dan Bertanggung Jawab
Saya tidak buru-buru mengajak orang ikut. Saya pun tidak pernah bilang bahwa ini pasti untung. Tapi saya percaya, belajar hal baru dan mengelola risiko adalah bagian dari kemajuan berpikir.
Sebagai guru, saya juga belajar menjadi murid: membuka buku, menonton video edukasi, berdiskusi, bahkan mengalami kerugian kecil sebagai ongkos belajar. Semua saya jalani bukan karena serakah, tapi karena saya ingin memahami dunia baru yang sedang tumbuh dan bisa jadi penting di masa depan.
Bitcoin, bagi saya, bukan soal cepat kaya. Tapi soal kemandirian, kesadaran, dan keputusan finansial yang bertanggung jawab. Dan yang paling penting, saya tidak melupakan akar profesi saya: mendidik.
Jika suatu saat saya cukup paham, saya ingin mengenalkan konsep literasi keuangan dan aset digital ke anak-anak didik saya. Tentu dengan pendekatan yang sesuai usia dan nilai. Bukan untuk membuat mereka jadi trader, tapi agar mereka tidak buta terhadap dunia yang kelak akan mereka hadapi.
Jalan Tengah Guru Modern
Antara idealisme dan realitas, antara gaji tetap dan harga kebutuhan yang melambung, guru hari ini harus lebih dari sekadar pengajar. Kita harus menjadi pembelajar aktif.
Bitcoin hanyalah salah satu simbol dari perubahan zaman. Dan saya memilih untuk tidak menutup mata.