Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Harga Makanan di Indonesia Lebih Mahal daripada di Negara Tetangga

26 Januari 2023   05:35 Diperbarui: 26 Januari 2023   05:38 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayam bakar tradisional. Sumber: Pexels/Mufid Majnun.

Tepat setiap tanggal 25 Januari, Indonesia memperingati Hari Gizi dan Makanan Nasional. Khusus pada tahun 2023 ini, tema yang dipilih oleh Kementerian Kesehatan adalah "Protein Hewani Cegah Stunting".

Tema tersebut, meski sekilas terdengar agak klise, nyatanya memang sejalan dengan potensi krisis yang sedang dihadapi bangsa ini. Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kemenkes pada tahun 2021 menunjukkan bahwa tingkat prevalensi balita yang mengalami stunting sudah mencapai angka 24,4%. Nyaris seperempat dari seluruh balita yang ada di Indonesia.

Tentu saja dibutuhkan upaya perbaikan yang sistemik untuk menurunkan tingkat prevalensi stunting ini. Namun apabila kita kembali kepada pilar utama gizi seimbang, jelaslah bahwa makanan memegang peranan yang amat penting dalam pencegahan stunting. Itulah mengapa Kemenkes menaruh frasa "Protein Hewani" sebagai perwujudan makanan bergizi tinggi dalam tema Hari Gizi Nasional tahun ini.

Omong-omong tentang makanan, pernahkah Anda menghitung besaran porsi pengeluaran yang Anda habiskan dari total pendapatan hanya untuk kebutuhan makanan?

Dilansir dari uenafood, secara rata-rata rumah tangga di Indonesia menghabiskan lebih dari 50% total pendapatan bulanannya hanya untuk kebutuhan makan. Kebutuhan yang dimaksud disini mencakup segala jenis kebutuhan akan produk makanan/minuman dan turunannya. Mulai dari sembako, sayur-sayuran, buah-buahan, makanan jadi dalam kemasan, hingga kebutuhan makanan yang sifatnya untuk hiburan dan rekreasi sesekali di restoran dan kafe.

Karena data yang disebutkan di atas adalah data rata-rata, tentu ia memiliki elastisitas seiring dengan adanya profil-profil rumah tangga yang menghabiskan porsi terlalu besar untuk makanan. Andai data yang tersedia adalah data median, tentu nilainya akan lebih relevan lagi dengan mayoritas pembaca yang sedang membaca artikel ini.

Maka dari itu, untuk melihat signifikansi dari data di atas, kita hanya dapat membandingkannya secara langsung dengan data yang serupa. Beruntung sumber yang sama memiliki komparasi atas data yang sama dari negara tetangga.

Dalam sumber tersebut dinyatakan bahwa rumah tangga di negara tetangga seperti Thailand hanya menghabiskan 24% dari total pendapatan bulanannya untuk kebutuhan makanan. Malahan Malaysia dan Singapura dapat membukukan rasio yang lebih kecil lagi dengan masing-masingnya sebesar 14% dan 8%. Nyaris hanya seperlima dari besar pengeluaran rumah tangga di Indonesia atas kebutuhan serupa atau lebih hemat sebesar 72-84%.

Dengan rendahnya rasio tersebut, rumah tangga di Malaysia, Singapura, atau Thailand dapat memiliki lebih banyak pos pendapatan untuk kebutuhan lainnya. Mulai dari kebutuhan primer lain seperti sandang dan papan, kebutuhan sekunder seperti perawatan kesehatan tambahan, hingga kebutuhan tersier seperti kendaraan dan gadget mewah.

Di saat yang sama, kebanyakan rumah tangga di Indonesia harus lebih struggling jika ingin mencapai tingkat kebutuhan yang sama. Amat wajarlah jika di dalam masyarakat berkembang frasa "boro-boro bisa beli ini itu, bisa makan saja sudah syukur".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun