Jauh dari orang tua bukan suatu kekeliruan. Bahkan anak kecil yang ditinggal oleh orang tuanya kadang membuat jiwa atau mental kedewasaan sejak dini, seperti halnya sekolah asrama. Akan tetapi berbagai kesusahan juga manajemen waktu seseorang mempengaruhi kualitas level perantauan sebenarnya. Susahnya mengurus diri sendiri, mengatur uang saku bulanan, makanan yang dikonsumsinya, Kesehatan jiwa dan mental semuanya adalah faktor utama dalam perantauan.
Banyak faktor yang mendorong orang-orang untuk pergi dari tempat asal atau kelahirannya menuju tempat lain. Diantaranya faktor tradisi atau budaya dari suatu kelompok etnis, juga ada faktor ekonomi, Pendidikan, tuntutan hidup untuk mencari nafkah, mencari ilmu, atau rasa penasaran pada suatu tempat atau keadaan. dan faktor peperangan.
Perantau selalu memiliki tujuan yang mana pencapaian itu harus kembali pada kewajiban asalnya. Sebagai sebuah perjalanan karir juga karya kehidupan, maka tugas yang sudah diamanahkan harus kita lalui untuk memunculkan harapan. Percayalah bahwa akan ada berkah dari sebuah perjalanan panjang di tempat kita mengabdi dan berkarya.Â
Setiap perjumpaan dengan orang baru, ada pengalaman hidup yang dipetik, ada nilai lebih yang dapat dibawa pulang, ada kisah-kisah indah untuk disimpan ke dalam memori. Keberhasilan dan kegagalan merupakan pengalaman penting untuk kita maknai hikmahnya. Pengalaman itulah yang akan kita jadikan sebagai guru terbesar kehidupan.
Dalam masa-masa perantauan tersebut, seringkali kita jumpai seseorang yang bersifat mendominasi permainan yang artinya adalah sikap mengalahkan ataupun sewenang-wenangnya menghancurkan sopan santun budaya masyarakat tuan rumah seakan bereskpansi bahwa seorang perantau dalam tanda kutip harus "sedikit nakal"
Selain daripada harus sedikit nakal, kadang perantau juga sebelumnya sudah mempunyai jiwa-jiwa pemberontak sejak dini. Jadi ada kalanya memang dari produk kenalakan lingkungan setempat yang kemudian kebiasaan hari-harinya sudah berwatak curang.Â
Banyak permasalahan yang terjadi di kota-kota besar seperti di Malang. Kota yang terkenal dengan pusat Pendidikan itu banyak diduduki oleh para perantau bahkan warga Kota Malang sendiri jarang mendapatkan kesempatan belajar di tanah sendiri.
Membahas tentang kultur budaya dan Bahasa lokal Kota Malang seringkali diklaim dengan masyakarat keras layaknya ibukota, mulai dari keseharian hingga budaya kebahasaan yang digunakan cukup terbilang ngawur. Artinya adalah keterkaitan antara budaya lokal Malang dengan perantau luar ini adalah hal yang berkesinambungan yang justru para perantau inilah tokoh yang lebih kritis daripada warga Kota Malang sendiri.
Dilema ini harusnya dijadikan tolak ukur terhadap banyak perantau disana agar tidak semena-mena ngawur di tanah perantauan, karena demi mencari ilmu dan meraih cita-cita, adakalanya kita harus merubah banyak hal.Â
Salah satu perubahan yang sedikit umum dilakukan adalah meninggalkan kebiasaan buruk yang dapat mempengaruhi stigma masyarakat lokal atas warga pendatang supaya seluruh pihak dapat merasakan kedamaian dan tentramnya keberlangsungan mutualan.