Mohon tunggu...
Ari Budiyanti
Ari Budiyanti Mohon Tunggu... Guru - Lehrerin

Sudah menulis 2.780 artikel berbagai kategori (Fiksiana yang terbanyak) hingga 24-04-2024 dengan 2.172 highlight, 17 headline, dan 106.868 poin. Menulis di Kompasiana sejak 1 Desember 2018. Nomine Best in Fiction 2023. Masuk Kategori Kompasianer Teraktif di Kaleidoskop Kompasiana selama 4 periode: 2019, 2020, 2021, dan 2022. Salah satu tulisan masuk kategori Artikel Pilihan Terfavorit 2023. Salam literasi 💖 Just love writing 💖

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Bencana Banjir Hampir Merenggut Nyawaku di Masa Lalu

10 Januari 2020   06:00 Diperbarui: 10 Januari 2020   06:13 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aneka barang naik kursi atau meja. Banjir di rumah Ibu di kampung. Tahun 2014. Photo by Ari

Ini kisah saya sebagai korban bencana banjir beberapa tahun lalu di kampung. Sungguh itu adalah salah satu masa terberat yang pernah saya alami. Bagaimana tidak. Hampir satu Minggu penuh rumah kami kemasukan air banjir.

Warna coklat yang menandakan betapa kotornya. Masih untung bagi kami sekeluarga, banjirnya tidak sampai menyentuh ranjang tertinggi di rumah. Dengan demikian kasur masih bisa diselamatkan. 

Tidak terbayang untuk korban banjir yang sampai atap. Kerusakan  besar-besaran dan kerugian materi tak terhitung jumlahnya. 

Saat banjir masuk rumah kami.kenangan masa lalu. Photo by Ari
Saat banjir masuk rumah kami.kenangan masa lalu. Photo by Ari
Saya ingat saat banjir melanda, yang saya pikirkan barang-barang dagangan saya dan koleksi buku saya. Waktu itu saya masih berjualan aneka kosmetik secara online di rumah. Saya selalu ketakutan bila banjir sampai menyentuh barang-barang berharga saya. Bisa rugi jutaan. Pikir saya. 

Saya ingat saat semua keluarga mengungsi ke toko milik almarhum kakek nenek saya, saya memilih tinggal di runah yang kebanjiran. Betapa bodohnya saya membahayakan diri saya saat itu hanya takut barang-barang saya hanyut. 

Bukan hanya itu, melihat ular air berenang membuat saya merinding setengah mati. Saya akhirnya menyerah. Saat kondisi tak lagi terkendali secara emosi, saya memilih ikut mengungsi. Listrik sudah dimatikan di area tempat tinggal kami. Penduduk desa yang kebanjiran sudah mengungsi semua. 

Saya hanya berpikir saat itu, kalau saja saya mengalami kerugian besar secara materi, saya harus bisa ikhlas. Dukungan doa rekan-rekan saya sungguh menolong saya untuk bertahan. Bahkan ada rekan dari Bandung datang mengunjungi saya. Sungguh sebuah support moral yang sangat dibutuhkan. 

Aneka barang naik kursi atau meja. Banjir di rumah Ibu di kampung. Tahun 2014. Photo by Ari
Aneka barang naik kursi atau meja. Banjir di rumah Ibu di kampung. Tahun 2014. Photo by Ari
Bahkan ketika akhirnya banjir surut, lelah badani ini tidak bisa berhenti. Membersihkan lantai rumah yang penuh dengan lumpur. Membersihkan halaman dari sisa sampah yang tertinggal. Bau yang tidak enak karena sisa air kotor. Dan berbagai kerusakan barang-barang seperti kursi, meja, lemari, kulkas dll.

Sisa banjir di halaman depan rumah. Photo by ari
Sisa banjir di halaman depan rumah. Photo by ari
Kelelahan fisik membuat diri ini sangat sensitif. Mudah tersinggung dengan komentar-komentar orang lain tentang  banjir. Mereka yang tidak pernah kebanjiran seumur hidupnya dan tak pernah jadi relawan di daerah banjir besar, mungkin tidak paham benar susah payahnya menaikan barang-barang ke tempat yang tidak terjangkau air banjir. Juga tidak tahu ketar-ketirnya takut banjir masuk rumah saat musim hujan. 

Perlu kita bijaksana mengomentari para warga yang kena banjir. Kelelahan fisik dan emosi membuat orang-orang ini lebih sensitif dari segala macam kecaman atau sekedar omongan tak berarti dari sesamanya. Sebaiknya kita menjaga tutur kata kita saat berkomentar.

Mungkin itu kisah saya saja. Salah satu masa kelam dalam hidup saya saat banjir melanda. Herannya Ibu saya hanya bilang begini, "Banjir kan rame-rame tidak sendirian, semua kena, tidak usah terlalu pusing. " Mungkin untuk menghibur diri saja ya. Taoi jujur saya pusing berat waktu itu.

Lebih parah lagi saat kami kira banjir telah surut dan pergi dari rumah. Kami bersih-bersih dan sangat kelelahan. Tapi banjir datang lagi dan masuk rumah lagi. Inipun pernah kami alami. Rasanya ini menjadi semacam titik terlemah dalam hidup saya. Lelah fisik dan emosi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun