Mohon tunggu...
Arianto Triwahyudi
Arianto Triwahyudi Mohon Tunggu... Seorang manusia biasa dengan berbagai hobby, diantaranya bermusik dan menulis

Saya adalah seorang manusia biasa dengan berbagai hobi seperti bernyanyi dan menulis, serta memiliki ketertarikan dalam bidang lingkungan, sosial, politik, pemerintahan, humaniora, ekonomi dan bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Berani Salah Itu Benar

12 Oktober 2025   00:46 Diperbarui: 12 Oktober 2025   00:46 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan bagaikan sebuah permainan, yang selalu memunculkan level masalah/tantangan baru. Ibarat sebuah game, baik online maupun offline, kehidupan juga akan menampilkan level masalah/tantangan lebih berat, manakala suatu level permainan telah terselesaikan. Analoginya, ketika kita masuk kelas 10 (sepuluh) Sekolah Menengah Atas (SMA), maka di akhir tahun ajaran, kita akan diberi ujian (masalah/tantangan) yang harus kita kerjakan/lalui/selesaikan secara pribadi di suatu ruangan kelas tertentu. Selesai mengerjakan/melalui ujian/masalah/tantangan itu, maka kita akan diberi nilai hasil ujian, dan kita akan mengetahui secara bersama-sama, apakah kita lantas layak untuk naik kelas/level selanjutnya di kelas 11 (sebelas), ataukah kita harus mengulangi kembali di kelas 10 (sepuluh)? Saat kita berhasil naik kelas 11 (sebelas), maka kita akan menghadapi/menemui level pembelajaran dan materi ajar yang lebih sulit dibandingkan level/kualitas di kelas 10 (sepuluh).

Pola pembelajaran diatas, akan selalu kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Selama kita masih hidup di dunia ini, pola pembelajaran terhadap masalah/tantangan di kehidupan, akan selalu kita temui, termasuk ketika kita telah menyelesaikan pembelajaran di bangku sekolah atau kuliah, serta masuk ke dalam praktek dunia kerja. Di kehidupan masyarakat secara umum, termasuk dalam kehidupan dunia kerja, pola pembelajaran terhadap masalah/tantangan kehidupan, bisa berdasarkan tingkatan usia seseorang atau tingkatan level/status/jabatan seseorang di dalam dunia kerja. Yang membedakan adalah, jika di bangku sekolah/kuliah, permasalahan/tantangan yang dihadapi cenderung telah terstandarisasi, berupa kurikulum dan materi ajar, walaupun terdapat juga beberapa masalah/tantangan pribadi yang tidak terstandarisasi; sedangkan jika di masyarakat/dunia kerja, masalah/tantangan yang dihadapi, tidak pernah sama antara individu satu dengan lainnya, serta tidak pernah terstandarisasi. Namun satu yang pasti, bahwa semua masalah/tantangan yang datang dalam kehidupan kita sehari-hari, pasti akan memberikan pengalaman dan pembelajaran bagi kita, yang akan berguna kelak di kemudian hari, terutama ketika kita menghadapi permasalahan/tantangan serupa. Minimal menjadikan kita memiliki wawasan dan pengetahuan tentang masalah/tantangan yang pernah kita hadapi. Secara tersirat, hal itu berarti telah menaikan level kehidupan pribadi kita, karena kita telah mendapatkan pengalaman menghadapi permasalahan/tantangan baru, yang dapat menambah referensi pengalaman menghadapi permasalahan/tantangan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Saat pertama kali permasalahan/tantangan datang kepada kita, maka secara spontan dan manusiawi, alam bawah sadar kita akan meresponnya dengan melakukan mekanisme pertahanan (defense mechanism) ego pribadi kita. Bentuk mekanisme pertahanan ego antara satu individu dengan lainnya, bisa berbeda-beda, tergantung dari pengalaman, latar belakang pendidikan, pola asuh keluarga, lingkungan sosial sekitar tempat tinggal, lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, dan sebagainya. Hal-hal itulah yang membuat terjadinya perbedaan kualitas penyelesaian terhadap suatu masalah/tantangan kehidupan tiap individu, menjadi berbeda-beda. Ada individu yang ketika menghadapi masalah/tantangan kehidupan berupa tidak lulus tes CPNS, maka yang bersangkutan tetap bersikap biasa saja, dan malah meningkatkan motivasi untuk mencoba ikut tes CPNS lagi di tahun berikutnya; namun bagi individu lain, kegagalan lulus tes CPNS mungkin akan dianggap sebagai suatu hal yang sangat memalukan, dan untuk menutupi rasa malunya itu, dia lantas mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ada lagi masalah/tantangan kehidupan berupa penolakan rasa cinta/sayang/ suka dari lawan jenis. Terhadap masalah/tantangan ini, respon individual yang dihasilkan juga bisa berbeda-beda. Ada individu yang saat ditolak cintanya oleh orang yang dia sukai, maka dia akan bersikap biasa-biasa saja. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Ada lagi yang saat cintanya ditolak, dia lantas merenung sepanjang hari selama 40 (empat puluh) hari 40 (empat puluh) malam. Individu lain, bahkan ada yang lantas datang kepada orang "pinter", semacam paranormal, dukun, ahli nujum, ahli matematika, ahli fisika dan sebagainya, hanya untuk mengikuti sebuah anekdot "cinta ditolak dukun bertindak". Yang jelas, respon individual terhadap masalah/tantangan yang datang, bisa berbeda-beda, walaupun masalah/tantangan yang dihadapi, memiliki kesamaan jenis dan sifatnya. Diperlukan pengalaman menghadapi masalah/tantangan yang berulang kali, agar respon individual yang dimunculkan bisa menjadi win-win solution bagi semua pihak.

Berkaitan dengan pengalaman menghadapi masalah/tantangan yang datang dalam kehidupan manusia, maka diperlukan keberanian individu untuk mencoba berbagai langkah/upaya yang bisa dilakukan, agar dapat menentukan langkah/upaya penyelesaian terbaik (win-win solution). Salah satu caranya adalah dengan melatih diri untuk memunculkan keberanian dalam mengambil risiko, dengan melangkah sesuai dengan kata hari nurani, tentunya dengan tetap mempertimbangkan analisis dampak positif dan negatifnya, serta efek samping yang mungkin akan muncul kelak di kemudian hari, dari langkah yang akan diambil. Setelah mempertimbangkan segala dampak dan efek yang mungkin bisa terjadi, selanjutnya tinggal menentukan langkah yang akan diambil, dan melangkah dengan keyakinan, bahwa langkah itu adalah langkah terbaik yang dapat menjadi win-win solution bagi masalah/tantangan yang kita hadapi.

Jika ternyata langkah yang kita ambil diatas itu, kemudian dianggap sebagai sebuah langkah yang salah oleh Pimpinan/Atasan kita, dan efeknya kemudian menjadikan kita dimarahi oleh Pimpinan/Atasan kita, maka jangan lantas hal itu kita bawa perasaan (baper), atau menjadikan kita malah lebih sedih lagi. Ingat, salah satu fungsi dari Pimpinan/Atasan adalah memarahi/mengingatkan bawahan. Sehingga saat kita dimarahi oleh Pimpinan/Atasan, kita tidak perlu baper, cukup kita dengarkan, dan kalau perlu kita minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kembali, serta akan melangkah sesuai arahan Pimpinan/Atasan. Tidak perlu merasa malu untuk meminta maaf kepada orang lain, termasuk kepada Pimpinan/Atasan kita, walaupun kita merasa benar dan sudah memberikan kontribusi maksimal. Karena mungkin saja Pimpinan/Atasan kita memiliki standar yang berbeda dari kita dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, sehingga ketika standar Pimpinan/Atasan itu belum terpenuhi, maka wajar jika Pimpinan/Atasan kita lantas memarahi kita.

Ketika kita kemudian mendapatkan luapan kemarahan dari Pimpinan/Atasan kita, maka anggap saja hal itu sebagai sebuah bentuk perhatian dari Pimpinan/Atasan kepada kita, dengan cara memarahi atau mengingatkan kita agar kelak di kemudian hari, kita tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Kemarahan Pimpinan/Atasan kita itu, jangan pula lantas membuat kita menjadi menarik diri dan pasif, serta menjadi tidak berani mengambil inisiatif langkah penyelesaian terhadap suatu masalah/tantangan yang kita hadapi. Tetaplah berani mengambil risiko dan inisiatif dalam menyelesaikan masalah, tentunya akan lebih baik, jika bisa berkoordinasi dan komunikasi terlebih dahulu dengan Pimpinan/Atasan kita, sebagai antisipasi langkah agar Pimpinan/Atasan tidak marah lagi. Tetaplah berani melangkah, walaupun mungkin akan dinilai salah, namun dengan keberanian kita mengambil inisiatif langkah itu, kelak akan dapat menjadi pembelajaran bagi kita, dan dapat membentuk pribadi yang positif dan memiliki karakter seorang pemimpin dan pemenang.

Hal itulah yang menjadikan pemahaman bahwa keberanian berbuat salah itu benar dan baik, karena dapat mendidik seorang individu memiliki karakter seorang pemimpin. Namun, akan lebih baik lagi jika keberanian mengambil inisiatif langkah itu, dibarengi dengan komunikasi dan koordinasi dengan stakeholder/pihak-pihak terkait. Hal ini perlu dilakukan agar inisiatif langkah yang kita ambil, tidak salah (dianggap salah) oleh pihak lain, termasuk juga oleh Pimpinan/Atasan kita. Tidak perlu ragu berbuat, meskipun hasilnya salah, karena dari kesalahan itu, kita bisa belajar banyak tentang cara menghadapi suatu masalah/tantangan, terutama yang sudah kita ambil dan hasilnya salah. Harapannya, kelak di kemudian hari, kita bisa mengambil langkah yang tepat dan benar, ketika kita menghadapi masalah/tantangan yang sama, yang pernah kita hadapi sebelumnya. Jadi, berani berbuat salah itu benar dan baik. Keep Fighting and Smile.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun