Mohon tunggu...
Ariansyah Eka Saputra
Ariansyah Eka Saputra Mohon Tunggu... profesional -

An Ordinary Citizen. Law, politic and business Enthusiast. Black belt karateka. Idealist, critism, & perfectionist.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory) Dalam Kriminologi

30 September 2014   11:55 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 35847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

TEORI ASOSIASI DIFERENSIAL (DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY)

DALAM KRIMINOLOGI

LATAR BELAKANG

Teori asosiasi diferensial atau differential association dikemukkan pertama kali oleh Edwin H Suterland pada tahun 1934 dalam bukunya Principle of Criminology. Sutherland dalam teori ini berpendapat bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial. Artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Karena itu, perbedaan tingkah laku yang conform dengan kriminal adalah bertolak ukur pada apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari.

Teori ini dipengaruhi oleh tiga teori lain yaitu : ecological and culture transmission theory, symbolic interactionism, and culture conflict theory. Dari pengaruh-pengaruh tersebut dapat disimpulkan bahwa munculnya teori diferensiasi ini didasarkan pada :

·Setiap orang akan menerima dan mengakui pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan;

·Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku dapat menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan;

·Konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.

Teori asosiasi diferensial ini memiliki 2 versi. Versi pertama dikemukakan tahun 1939 lebih menekankan pada konflik budaya dan disorganisasi sosial serta asosiasi diferensial. Dalam versi pertama, Sutherland mendefinisikan asosiasi diferensial sebagai “the contents of pattern presented in association would differ from individual to individual” (isi atau konten yang disajikan dari sebuah asosiasi akan berbeda dari satu individu ke individu lain). Hal ini tidak berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan seseorang berprilaku kriminal. Yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain. Hal ini jelas menerangkan bahwa kejahatan atau perilaku jahat itu timbul karena komunikasi dengan orang lain yang jahat pula. Pada tahun 1947, Sutherland memaparkan versi kedua nya yang lebih menekankan pada semua tingkah laku dapat dipelajari dan mengganti istilah social disorganization dengan differential social organization. Teori ini menentang bahwa tidak ada tingkah laku jahat yang diturunkan dari kedua orangtuanya. Pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.

DIFFERENTIAL SOCIAL ORGANIZATION

Differential Social organization mengemukakan bahwa kelompok-kelompok sosial tertata secara berbeda, beberapa terorganisasi dalam mendukung aktivitas kriminal dan yang lain terorganisasi melawan aktivitas kriminal. Menurut Sutherland perilaku jahat itu dipelajari melalui pergaulan yang dekat dengan pelaku kejahatan yang sebelumnya dan inilah yang merupakan proses differential association. Lebih lanjut, menurutnya setiap orang mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok yang terorganisasi dalam melakukan aktivitas kriminal atau dengan kelompok yang melawan aktivitas kriminal. Dan dalam kontak yang terjadi tersebut terjadi sebuah proses belajar yang meliputi teknik kejahatan, motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi melakukan suatu kejahatan.

Dasar dari differential social organization theory adalah sebagai berikut :

1.Criminal behavior is learned (Perilaku kejahatan dipelajari);

2.Criminal behavior is learned in Interaction with other person in a proccess of communication; (Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dari komunikasi);

3.The principal part of the learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups (Dasar perilaku jahat terjadi dalam kelompok pribadi yang intim);

4.When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes (Ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran termasuk juga teknik melakukan kejahatan yang sulit maupun yang sederhana dan arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap);

5.The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable or unfavorable (Arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari definisi aturan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan);

6.A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorble to violation of law (Seseorang menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap definisi-definisi yang menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum melebihi definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum);

7.Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity (Asosiasi yang berbeda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas, dan intensitas);

8.The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning (Proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya);

9.While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and values (Walaupun perilaku jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut sejak perilaku tidak jahat adalah sebuah penjelasan dari kebutuhan dan nilai nilai yang sama);[1]

Dari 9 proposisi ini, dapat disimpulkan bahwa menurut teori ini tingkah laku jahat dapat dipelajari melalui interaksi dan komunikasi yang dipelajari dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan alasan yang mendukung perbuatan jahat tersebut. Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjelaskan pandangannya tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan.

Adapun kekuatan teori differential association atau differential social organization bertumpu pada aspek-aspek berikut :

·Teori ini relatif mampu menjelaskan sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial

·Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya melalui proses belajar menjadi jahat

·Teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional

KELEMAHAN DAN KRITIK AHLI TERHADAP DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY ATAU DIFFERENTIAL SOCIAL ORGANIZATION THEORY

Kelemahan mendasar dari differential association theory atau differential organization theory adalah sebagai berikut    :

·Tidak semua orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru atau memilih pola-pola kriminal;

·Teori ini belum membahas, menjelaskan, dan tidak peduli pada karakter-karakter orang-orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut;

·Teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa individu lebih suka melanggar undang-undang dan belum mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir karena spontanitas;

·Teori ini sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoretik tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frekuensi dan prioritas nya;

Adapun kritik-kritik yang dikemukakan para ahli terhadap differential association theory atau differential organization theory adalah sebagai berikut    :

·Matza (1968 : 107) mengatakan bahwa Sutherland kurang peka tanggap terhadap pembaharuan pemikiran dan kemasyarakatan, yaitu antara pelaku penyimpangan tingkah laku (deviant) dan dunia yang konvensional;

·Nettler (1984) mengemukakan bahwa Judul istilah asosiasi diferensial adalah menyesatkan karena Ia seakan-akan menunjuk pada suatu hubungan pergaulan antar individu, sebagaimana halnya teori bad companion yang menghasilkan kejahatan;

·Clinard, meskipun mengakui hipotesis teori asosiasi diferensial-menyatakan bahwa teori tersebut tidak dapat menjelaskan secara memadai semua kasus pelanggaran hukum, terutama terhadap transaksi yang terjadi di pasar gelap dan tidak dapat diperlakukan secara tepat terhadap adanya perbedaan-perbedaan individual sepanjang yang menyangkut masalah pentaatan terhadap undang-undang dalam kaitan dengan dunia perdagangan. Clinard secara khusus menekankan pentingnya, certain personality trait dari seorang individu.

KESIMPULAN DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY ATAU

DIFFERENTIAL SOCIAL ORGANIZATION THEORY

Kesimpulan yang dapat diambil dari differential association theory atau differential social organization theory adalah sebagai berikut :

·Perbedaan asosiasi cenderung membentuk perbedaan kepribadian manusia yang berbeda dalam pergaulan kelompok;

·Tumbuhnya seseorang dalam pergaulan kelompok yang melakukan pelanggaran hukumadalah karena individu yang bersangkutan menyetujui pola prilaku yang melanggar hukum dibandingkan dari pola perilaku lain yang normal;

·Sikap menyetujui atau memilih salah satu pola perilaku tertentudalam asosiasi yang berbeda adalah melalui proses belajar dari pergaulan yang paling intim melalui komunikasi langsung yang berhubungan sering, lama, mesra, dan prioritas pada perilaku kelompok atau individu yang diidentifikasi menjadi perilaku miliknya;

PENERAPAN DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY ATAU DIFFERENTIAL SOCIAL ORGANIZATION THEORY PADA TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

Tindak pidana terorisme menurut pasal 6 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.  Terorisme sendiri telah menjadi masalah serius bagi masyarakat Indonesia sejak terjadinya Bom Bali pertama pada November 2002. Dengan makin meluasnya jaringan operasi yang serius, radikalisme, dan militansi hingga hari ini terorisme masih menjadi momok. Dalam kaitannya dengan Differential association, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seorang pelaku tindak pidana terorisme melewati proses belajar yang membentuk ideologi dan menjadikannya sebuah rasionalisasi dalam melakukan terorisme. Seringkali ideologisasi tersebut terjadi dalam proses pemasyarakatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sehingga Lapas menjadi School of Radicalism. Ketika kita berbicara mengenai tindak pidana terorisme maka kita akan berbicara mengenai sebuah tindak pidana dengan karakteristik yang berbeda dimana perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kepahaman mengenai tindak pidana yang dilakukan serta mengandung adanya ideologi yang menyimpang. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang berbeda bagi narapidana terorisme demi tercapainya salah satu tujuan pemidanaan yaitu memasyarakatkan narapidana sehingga dapat kembali diterima oleh masyarakat dan tidak mengulangi kembali perbuatannya (residivis).

Sebelum tahun 2008 di LP Cipinang ada hak-hak istimewa yang diberikan kepada para narapidana terorisme diantaranya kemudahan mendapatkan kunjungan, kebebasan untuk mendapatkan makanan, bahan bacaan berupa kitab-kitab dan buku-buku bertema jihad, serta kesempatan untuk memiliki handphone bagi hampir semua narapidana teroris. Bahkan narapidana terorisme diberikan kesempatan untuk membentuk semacam pesantren di lingkungan masjid di dalam LP dimana Abu Tholut, seorang residivis yang terkenal karena berkali-kali melakukan pengulangan Tindak Pidana terorisme pernah menjadi kepala sekolahnya. Dan disinilah proses Differential association terjadi. Pesantren ini pernah memiliki murid sebanyak 300 orang narapidana biasa (non-terorisme). Tanpa disadari lapas menjadi sebuah lahan recruitment oleh jaringan teroris ketika itu. Dan hal ini sesuai dengan dalil dalam teori differential association atau differential social organization yaitu tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi, jadi tidak serta merta seseorang yang hidup dalam lingkungan kriminal menjadi kriminal tetapi juga dipelajari bersama orang lain dalam komunikasi verbal maupun non verbal.

Selain itu, tingkah laku kriminal biasa dipelajari dalam kelompok orang-orang dekat seperti keluarga ataupun teman dekat, ddan diketahui bersama banyak dari jaringan terorisme yang terbentuk dari lingkaran keluarga ataupun teman dekat, dimana komunikasi yang intensif berperan besar dalam ideologisasi para pelaku tindak pidana terorisme. Albert Reiss dan A. Lewis menemukan bahwa kesempatan melakukan perbuatan delinquent tergantung pada apakah temannya melakukan hal yang sama.

Tingkat differential association sendiri dipengaruhi oleh intensitas kontak, lamanya, dan makna dari proses tersebut kepada suatu individu. Dalam konteks school of radicalism, seseorang dalam keadaan terkungkung dan kurang informasi mendapatkan pencerahan dari seseorang yang dilihat lebih mengerti kemudian melakukan komunikasi yang intens dan lama lebih mudah menerima ideologi yang menyimpang tersebut. Itulah kenapa lapas dapat dikatakan turut menyuburkan kaderisasi jaringan terorisme.

Pelajaran yang didapat tentunya bukan hanya soal teknik melakukan tindak pidana tetapi juga rasionalisasi, motif, dorongan, serta sikap dan di point inilah ideologisasi terjadi. Sehingga berbeda dengan tindak pidana yg lain, untuk memasyarakatkan kembali pelakunya perlu adanya proses de-ideologisasi. Dimana de-ideologisasi tersebut dilakukan untuk membersihkan rasionalisasi, motif, dorongan, serta sikap yang membentuk ideologi si pelaku tindak pidana terorisme.

[1] Topo Santoso, S.H., M.H dan Eva Achjani Zulfa, S.H, 2008, Kriminologi, grafindo, jakarta Halaman 75

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun