Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ketimpangan Gender pada Penggunaan Kontrasepsi

27 September 2022   15:13 Diperbarui: 20 Oktober 2022   12:26 1692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi alat kontrasepsi. Sumber: Shutterstock/JPC-PROD via Kompas.com

Hari ini seorang pasien perempuan datang ke Poli Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas kami. Ia menyampaikan bahwa ia bermaksud untuk rutin melakukan kontrol pada posisi alat kontrasepsi dalam rahimnya atau disebut juga dengan AKDR setiap 6 bulan sekali. Ia menuturkan bahwa sudah setahun lamanya ia menggunakan AKDR ini atau beken disebut dengan IUD yang merupakan singkatan dalam Bahasa Inggris yakni Intra Uterine Device (IUD). 

Kepada pasien saya mengatakan bahwa begitu jarang rasanya saya menemui pasien di desa ini yang bersedia menggunakan IUD, sekalipun telah dijelaskan sekian keuntungan yang didapatkan dengan penggunaan kontrasepsi tersebut, salah satunya terkait tingkat keberhasilannya yang mencapai 98 hingga 99 persen selama lima tahun penggunaannya. Saya juga berkata bahwa saya sangat mengapresiasi keputusan yang dibuat oleh pasien beserta pasangan. 

"Ibu kenapa waktu itu mau pakai IUD? Ada tekanan darah tinggi bu atau kepengen aja?" Saya menanyakannya karena begitu penasaran.

"Betul dokter, waktu itu saya diberitahu oleh dokter spesialis kandungan saya setelah operasi caesar, bahwa sebaiknya saya menggunakan kontrasepsi yang ditaruh dalam rahim saja yang tidak ada hormonnya karena katanya hormon berpengaruh kepada tekanan darah." Saya tersenyum karena begitu senang rasanya pasien memahami betul penjelasan dokter terkait pilihan kontrasepsi terbaik untuknya. 

Setelah melakukan pemeriksaan, kami mencurigai terdapat IUD displacement atau pergeseran posisi dari posisi yang tepat yakni di dalam fundus ke segmen bawah rahim atau leher rahim. Kami lakukan rujukan ke rumah sakit terdekat untuk memastikan posisi IUD melalui pemeriksaan ultrasonography atau USG. 

"Saya sudah coba berbagai kontrasepsi dok, dari yang tablet, suntik, implan, dan hingga sekarang akhirnya saya memutuskan menggunakan IUD walau awalnya saya sangat takut." 

Angka partisipasi kontrasepsi perempuan versus laki-laki

Mendengar penuturan pasien terkait pengalaman kontrasepsinya yang begitu beragam dan sesekali dirasa menakutkan, tak jarang penggunaan kontrasepsi ini juga dilakukan setelah prosedur-prosedur persalinan baik per vaginam maupun operasi caesar yang tentu saja tak gampang, saya tertarik untuk mencari data terkait angka partisipasi kontrasepsi perempuan versus laki-laki di Indonesia. 

Hasilnya tentu saja jomplang. Menurut riset oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN di tahun 2018, didapatkan persentase perempuan yang menggunakan kontrasepsi sebesar 96,7% sedangkan partisipasi laki-laki hanya sebesar 3,3%. 

Melalui angka tersebut, kita memperoleh informasi bahwa terdapat ketimpangan gender dalam penggunaan kontrasepsi di Indonesia. Pelaksanaan aspek-aspek yang berhubungan dengan pengarusutamaan gender yang mana telah dimulai sejak tahun 2000 melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan ternyata mengalami banyak kendala. 

Selain itu, isu terkait gender dalam pelaksanaan program keluarga berencana (KB) yang mulai mencuat setelah International Conference on Population Development pada tahun 1994 yang menggaungkan terkait peningkatan tanggung jawab dan partisipasi laki-laki dalam program keluarga bencana dan kesehatan reproduksi rupanya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia.

Perspektif gender dalam keluarga berencana

Mengutip penelitian oleh Syahputra pada tahun 2020, dijelaskan bahwa perspektif gender dalam keluarga berencana menekankan kebebasan untuk melakukan pilihan terkait metode kontrasepsi, untuk mengakses informasi terkait keluarga berencana, ketersediaan pelayanan yang lebih luas, dan meningkatkan partisipasi laki-laki dalam keluarga berencana. 

Adanya dikotomi peran laki-laki dan perempuan menyebabkan ketimpangan baik dalam bentuk stereotipe, double burden, marginalisasi, sub-ordinasi, hingga kekerasan terhadap perempuan. Melalui dikotomi peran tersebut, perempuan dianggap harus berperan sebagai individu yang lemah, harus menurut, hingga tidak dapat pengambil keputusan. 

Sebaliknya, laki-laki dianggap sebagai individu yang kuat, dapat mendominasi, dan satu-satunya pengambil keputusan dalam keluarga. Ketimpangan gender dalam keluarga berencana ini berimbas seolah-olah KB hanyalah urusan perempuan yang pengambilan keputusannya dilakukan oleh laki-laki. Sungguh ironi bukan?

Faktor yang mempengaruhi ketimpangan gender dalam keluarga berencana

Secara garis besar, menurut penelitian oleh Syahputra pada tahun 2020, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi ketimpangan gender dalam proses keluarga berencana, antara lain: 

(1) Stereotip sosial atau pandangan yang telah mengakar kuat di dalam kehidupan sosial masyarakat bahwa KB adalah urusan perempuan menjadi faktor yang kuat mengapa penggunaan kontrasepsi didominasi oleh perempuan

(2) Pembagian peran gender, yang mana melalui proses pembagian peran gender, perempuan cenderung ditempatkan pada peran domestik dan laki-laki dalam peran publik, berimbas pada pengetahuan terkait keluarga berencana cenderung didominasi oleh para perempuan. 

Sering kali penyuluhan terkait keluarga berencana hanya berhasil ditujukan kepada mereka para perempuan dikarenakan  suami alias para laki-laki sedang sibuk bekerja dan kemudian berdampak pada rendahnya pengetahuan laki-laki terkait keluarga berencana dan kesehatan reproduksi 

(3) Terbatasnya pilihan kontrasepsi untuk laki-laki dibanding kontrasepsi untuk perempuan mengakibatkan partisipasi laki-laki dalam penggunaan kontrasepsi menjadi rendah. Pilihan kontrasepsi pada laki-laki antara lain berupa kondom, vasektomi, senggama terputus, dan kini terdapat RISUG atau metode kontrasepsi suntik untuk laki-laki yang singkatan dari Reversible Inhibition of Sperm Under Guidance yang studinya masih terus dikembangkan.

Tugas bersama untuk memerangi ketimpangan gender dalam keluarga berencana

Keluarga berencana, atau dalam hal ini ialah penggunaan kontrasepsi, seyogyanya tidaklah hanya tugas pihak perempuan. Para pasangan tentu saja harus menyadari dan membuka mata bahwa penggunaan kontrasepsi dapat dilakukan oleh kedua pihak, baik laki-laki maupun perempuan. 

Proses pengambilan keputusan dalam keluarga berencana seharusnya menjadi proses dengan komunikasi yang terjalin baik dan efektif sehingga para pasangan dapat memperoleh keputusan yang diinginkan kedua belah pihak.

Selain itu, stereotip sosial yang masih menjamur hingga detik ini tentu saja adalah hal yang selanjutnya yang sama-sama kita perlu perangi melalui kampanye maupun promosi kesehatan yang lebih masif dalam berbagai bentuk sehingga menjangkau berbagai lapisan masyarakat dengan tingkat pendidikan/pengetahuan yang beragam. 

Pendekatan multidisiplin pengarusutamaan gender dalam setiap aspek kehidupan untuk memastikan ketimpangan peran gender dapat direduksi bahkan dieliminasi tentu saja adalah langkah emas selanjutnya, mengingat pembagian peran gender yang menempatkan perempuan cenderung dalam peran domestik membuat ketimpangan pengetahuan terkait keluarga berencana antara suami dan istri. 

Terakhir, riset dan inovasi lebih lanjut terkait kontrasepsi untuk laki-laki di tengah terbatasnya pilihan kontrasepsi untuk para laki-laki tentu saja merupakan kunci selanjutnya untuk membuat hal tersebut bukan menjadi sebuah alasan untuk "membebankan" kontrasepsi kepada pihak perempuan, mengingat sudah terdapat banyak pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun