Mohon tunggu...
Ariabagas
Ariabagas Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Dua Ribu Tua

Masih muda, belum hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Musibah Pertama 2020

23 Januari 2020   15:26 Diperbarui: 23 Januari 2020   15:33 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita sudah 3 minggu masuk ke tahun 2020 dan saat ini area Bekasi sedang melalui waspada banjir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan curah hujan tinggi akan berlangsung sampai bulan Februari menurut berita "Bekasi Masih Waspada Banjir Hingga Maret." Saya yang tinggal di area Bekasi beruntung rumahnya tidak terkena dampak banjir pada saat pergantian tahun, namun saya mengalami musibah lain, yakni matinya listrik.

Saat saya terbangun pada sekitar jam 6 pagi di tanggal 1 Januari, satu keluarga saya terkejut atas matinya listrik di rumah kami. Mati listrik ini langsung di konfirmasi oleh ayah saya bahwa ini memang kejadian mati listrik sekomplek dan bukan hanya korsleting di rumah kami. Adik saya dan ibu saya tidak mengalami banyak halangan dalam kegiatannya pada hari itu karena mereka memang mempunyai aktivitas diluar area Bekasi, namun tidak adanya listrik ternyata tetap menjadi sebuah tantangan tersendiri di rumah.

Saat masih ada sinar matahari di langit, kegiatan saya pada hari itu tidak terlalu terganggu namun saat matahari mulai terbenam dan cahayanya mulai menghilang, Saya menyadari bahwa untuk melakukan hal-hal sederhana menjadi jauh lebih sulit tanpa adanya cahaya. Dirumah saya pada saat itu tidak ada lilin untuk dinyalakan karena kami sudah lama tidak mengalami kejadian mati listrik. Tidak terlintas dalam benak kami untuk bersiap-siap di situasi mati listrik seperti ini.

Di malam itu saya berharap agar listrik sudah menyala kembali ketika saya bangun di keesokan harinya. Namun ternyata itu tidak terjadi, listrik di rumah saya tetaplah mati dan terus mati hingga tanggal 2 Januari jam 4 sore. Saya hitung totalnya listrik telah padam sekitar 34 jam lamanya. Dalam semua kejadian ini saya terus berharap untuk bisa mencari berita di internet mengenai kejadian banjir dan mati listrik namun ternyata internet sangatlah lambat pada saat itu karena banyaknya gardu yang dimatikan dengan alasan bahaya banjir.

Pada hari Jumat tanggal 3 Januari saat saya ingin pergi kuliah ke kampus, perjalanan saya sedikit terhambat karena adanya macet. Sebagian jalanan mungkin telah rusak dan orang-orang mungkin sedang dalam keadaan stress karena parahnya banjir dan hujan pada saat itu. 

Saya merasa sedikit aneh karena walaupun jalanan terlihat relatif sepi dibandingkan dengan volume kendaraan biasanya, ternyata tetap terjadi macet karena dampak banjir dan bisa didengar klakson berbunyi dimana-mana. Di kelas pun terasa sepi karena beberapa teman sekelas tidak bisa menghadiri kuliah. Rumah mereka terkena banjir atau mereka terjebak dijalan.

Mengingat kondisi kelas yang sepi pada hari itu saya menjadi penasaran mengenai seberapa parahnya dampak dari banjir ini sebenarnya. Karena rumah saya tidak terkena dampak banjir, saya tidak begitu bisa menggambarkan situasi tersebut sehingga saya kurang dapat berempati dengan teman-teman saya yang terkena banjir. Saat saya melihat estimasi kerugian di postingan berita "Kerugian banjir di Jakarta dan sekitarnya diperkirakan melebihi Rp10 triliun, kata pengamat" ternyata angkanya diperkirakan akan mencapai Rp 10 triliun.

Bukan J, bukan M, tapi sudah T. Triliun. Triliun, bang.

Setelah saya membaca angka yang besar tersebut, saya jadi lebih penasaran mengenai pelaporan mengenai dampak bencana banjir. Paling tidak, saya ingin tahu lebih banyak di sekitar area tempat saya tinggal yaitu Bekasi. Seperti apa pelaporan bencana banjir ini.

Salah satu artikel yang saya baca saat menulis adalah artikel Kompas.com "Kampung Buaran Jaya, Permukiman di Bekasi yang Rutin Banjir jika Hujan Lebih dari Sejam"

Berita ini menggambarkan dengan baik situasi banjir di daerah Harapan Mulya. Bahasa yang digunakan juga jelas, menggunakan angka waktu seperti 01.00 WIB dan 03.30 WIB. Menuliskan waktu secara spesifik dengan angka lebih baik dibandingkan dengan hanya menuliskan deskripsi seperti "tadi pagi" karena itu adalah deskripsi yang ambigu, tidak dapat menggambarkan secara spesifik bahwa pagi itu merupakan jam 03.00 WIB atau jam 08.00 WIB misalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun