Mohon tunggu...
Ari Budiarsyah
Ari Budiarsyah Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di jakarta bersamaan ketika john F. kennedy memperingati 72 tahun kelahirannya.. pada tahun 2013, menamatkan pendidikan sarjana sastra jepang di suatu sekolah tinggi bahasa di daerah jakarta selatan.. minatnya pada budaya, sastra jepang, psikologi, politik dan filsafat membuatnya terus menerus belajar untuk memperkaya pengetahuan tentang orang-orang maupun kondisi sosial di sekitarnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gelar Haji, Perlukah Disematkan?

15 Oktober 2013   09:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:31 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sering kita dengar gelar haji disematkan bagi orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji ke mekkah. Rasa bangga, rasa derajat lebih tinggi dari orang lain di sekitar, rasa dekat dengan surga, dan perasaan lain yang membuat kita bangga dan lebih tinggi, silakan bayangkan sendiri. Bukankah ketika kita menunaikan ibadah haji, yang terlintas di pikiran saat itu adalah kecintaan pada sang pencipta dan kerinduan pada nabi Muhammad SAW. Tapi kenapa ketika sudah kembali ke dunia kita berada justru esensi tadi tidak lama kemudian hilang begitu saja, tergantikan lagi oleh pola pikir manusia yang selalu ingin berada di atas manusia lainnya.

jadi sebenarnya perlukah gelar haji itu disematkan?

Kita ambil contoh si budi yang taat pada ajaran agama dan rajin beribadah. Setiap waktu dia selalu ingat tuhannya.

Jadi ketika suatu kali si budi baru saja menunaikan ibadah sholat magrib, jadi saya dipanggil maghrib budi.

Lalu ketika si budi baru saja menunaikan puasa ramadhan, jadi di panggi puasa budi.

Sama saja ketika si budi baru saja menunaikan haji, jadi di panggil haji budi.

Lalu di mana esensinya? Jika kita beribadah lalu disebut-sebutkan dan berumbar maka hanyalah sombong yang tertinggal. Gelar disematkan untuk “mengingatkan” sang pemilik gelar hanyalah omong kosong belaka yang bisa membuat lupa daratan bahkan yang lebih buruk menjadi “riya”. Bisa dihitung dengan jari berapa orang yang dengan kerendahan hati menolak sanjungan tersebut.

Bagaimana dengan makna haji itu sendiri? sudahkan para “pak haji” dan “bu haji” memaknai arti “haji”? silakan Tanya sendiri pada setan-setan dipinggir kamu.

Pemberian gelar kepada seseorang yang telah menunaikan ibadah pernahkah disebutkan di al-qur-an? Atau pernahkan pula disebutkan dalam hadist?

Kalau tidak pernah disebutkan, lalu siapa yang membuat peraturan seperti itu?
ah.. lagi-lagi manusia sebagai pelakunya, semua berasal dari peraturan seenak jidat yang dibuat manusia.
lama kelamaan kemudian jadilah kebiasaan. Turun temurun kebiasaan jadilah kebudayaan, kebudayaan lama kelamaan jadilah lagi suatu keharusan ibarat dalil baru yang disahkan oleh zaman dan masyarakat.

Memang inilah moral manusia yang haus gelar, kekuasaan, dan jabatan. Ibadah pun bisa dijadikan patokan menentukan derajat seseorang di masyarakat. Moral para manusia yang terbelakang esensinya. Bahkan manusia-manusia ini bisa jadi tidak mengerti apa makna haji sesungguhnya? Dan Apa makna ibadah sesungguhnya?

Manusia bukan dilihat dari sebanyak apa gelar yang disematkan, bukan pula dinilai dari sebanyak apa ibadah yang sudah diumbar diperhatikan oleh orang lain. Manusia harus mencari tahu sendiri esensi dari untuk apa ibadah itu dilakukan? Dan yang terpenting manusia harus tahu siapa tuhannya. Apakah tuhannya berwujud uang, atau tidak berwujud seperti gelar, atau tidak berwujud seperti tuhan itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun