Mohon tunggu...
Ari Sukmayadi
Ari Sukmayadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pelajar Forever

Aku baca. Aku pikir. Aku tulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

"Politik Identitas" dalam Tragedi Kanjuruhan dan Komedi Kebaya Merah

9 November 2022   15:15 Diperbarui: 9 November 2022   15:20 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : emosijiwaku.com

Dalam kebanyakan nama klub Eropa, kita malah lebih kenal nama kotanya, ketimbang nama klub itu sendiri. Madrid, Barcelona, Milan, Roma, Munchen, Eindhoven, Benfica, Liverpool, dll. Di sinilah letak kebanggan sebuah klub, bisa mempromosikan dan mengangkat nama daerah.

Antara Malang dan Surabaya.

Dua kota terbesar di Provinsi Jawa Timur.

Malang berlokasi di pedalaman. Surabaya berlokasi di pesisir pantai.

Malang dilambangkan dengan singa. Surabaya dilambangkan dengan hiu dan buaya.

Malang punya Arema Malang. Surabaya punya Persebaya Surabaya.

Tragedi Kanjuruhan terjadi di Malang.

"Komedi" Kebaya Merah terjadi di Surabaya.

Tragedi Kanjuruhan berawal dari pertandingan el classico antara Arema Malang versus Persebaya Surabaya. Ada unsur "politik identitas" dalam pertandingan antara kedua klub tersebut. Arema Malang sesuai namanya membawa identitas kedaerahan Malang. Sedangkan Persebaya sesuai namanya membawa identitas kedaerahan Surabaya. Keberadaaan "politik identitas" itu justru yang membuat pertandingan menjadi menarik. Penonton pun berduyun-duyun datang memenuhi stadion untuk menyaksikan pertandingan.

Tidak hanya Arema Malang dan Persebaya Surabaya, semua klub sepakbola yang berlaga di Liga Indonesia juga membawa identitas kedaerahan masing-masing. Persija Jakarta, Persib Bandung, Persipura Jayapura, PSMS Medan, PSM Makassar, Bali United, Madura United, Barito Putra, dan lain-lain. Nama daerah selalu melekat dalam nama klub.

Klub sepakbola di benua Eropa atau bahkan di seluruh dunia pun demikian. Real Madrid, Barcelona, Bayern Munchen, Borossia Dortmund, Manchester United, Manchester City, AC Milan, Inter Milan, Paris Saint Germain, dll. Dalam kebanyakan nama klub Eropa, kita malah lebih kenal nama kotanya, ketimbang nama klub itu sendiri. Madrid, Barcelona, Milan, Roma, Munchen, Eindhoven, Benfica, Liverpool, dll. Di sinilah letak kebanggan sebuah klub, bisa mempromosikan dan mengangkat nama daerah.

Di luar sepak bola pun hampir serupa. Klub-klub basket NBA misalnya. Chicago Bulls, LA Lakers, Boston Celtic, Miami Heat, New York Knicks, dll. Bedanya dengan klub sepakbola Eropa, nama klub dan nama daerahnya begitu melekat menjadi satu kesatuan.

Di tanah air, di cabang bola voli pun hampir sama mengikuti. Jakarta Elektrik, Bandung Tectona, Surabaya Samator, dll.

"Politik identitas" yang digunakan dalam pertandingan olah raga, dengan melekatkan nama daerah dalam nama klub, selain sebagai penanda daerah asal klub, juga untuk menggugah rasa memiliki penduduk kota atas klub tersebut, menarik minat untuk menonton setiap pertandingan.  Friksi-friksi memang seringkali muncul yang meningkatkan tensi pertandingan, tapi justru semakin menambah bumbu-bumbu yang membuat pertandingan semakin menarik untuk ditonton, semakin ditunggu-tunggu pertandingannya, semakin berbondong-bondong penontonnnya, semakin mahal harga tiketnya, semakin banyak sponsornya, semakin menarik untuk disiarkan. Semakin panas, semakin menarik.

Penggunaan politik identitas kedaerahan ini toh tidak membuat kekhawatiran negara akan terbelah karena perpecahan antar daerah. Di sisi lain, satu daerah seringkali memiliki lebih dari satu klub juga. Tidak jarang pertandingan antar klub satu daerah atau sering disebut derby, tidak kalah sengitnya persaingan dibandingkan pertandingan antar klub beda daerah. Banyak derby yang legendaris, misalnya derby la madonina (AC Milan vs Inter Milan), derby la capitale (AS Roma vs Lazio), derby London (Arsenal vs Chelsea), dll.

Jika kemudian terjadi kerusuhan seperti Tragedi Kanjuruhan, memang patut disayangkan. Namun permasalahannya bukan terletak pada politik identitas itu sendiri. Tapi lebih pada kedewasaan, terutama kedewasaan ketika menghadapi hasil pertandingan, baik ketika kalah maupun ketika menang. Yang kalah harus berjiwa besar menerima, yang menang pun harus berjiwa besar tidak memperolok yang kalah. Sportivitas tidak hanya ditekankan kepada atlet dan wasit. Para penonton pun harus menjunjung tinggi sportivitas. Hal ini yang perlu diedukasi dan dilatih, agar pertandingan tetap menjadi tontonan menarik, baik sebelum, sesaat, maupun setelah pertandingan.

Kasus "komedi" Kebaya Merah, membuktikan bahwa perbedaan identitas daerah tidak selalu membawa perpecahan. Seorang pria Surabaya malah bisa menjadi mesra dengan seorang wanita Malang. Sayangnya dalam kasus ini, kemesraan mereka bukanlah seperti pertandingan sepak bola yang boleh menjadi konsumsi publik. Walaupun ada kesamaannya dengan sepakbola, semakin panas semakin menarik.

Baik Tragedi Kanjuruhan maupuan "Komedi" Kebaya Merah keduanya berujung pada kasus hukum. Semoga penanganan dan penyelesaiannya juga menjunjung sportivitas yang tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun