Evakuasi 1.000 warga Gaza tentu menimbulkan konsekuensi fiskal yang substansial. Perhitungan kasar atas biaya logistik, kesehatan, pengamanan, konsumsi, pemukiman, dan pendidikan darurat menunjukkan bahwa negara harus mengalokasikan dana miliaran rupiah per bulan. Dalam kondisi di mana APBN masih dibebani oleh subsidi energi, program pengentasan kemiskinan, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta belanja pertahanan, pertanyaan mendasarnya adalah: sejauh mana evakuasi warga negara asing bisa menjadi justified dalam struktur prioritas nasional, sementara Indonesia sendiri saat ini masih menghadapi beban besar: 25 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, ratusan ribu anak mengalami stunting, dan defisit infrastruktur dasar masih menghantui di kawasan-kawasan timur Indonesia. Ekonomi publik mengajarkan bahwa pengeluaran negara harus memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang jelas terhadap kesejahteraan nasional, yang dalam hal ini tidak secara langsung bersinggungan dengan urgensi sosial-ekonomi domestik. Maka bila tidak dikelola melalui skema kemitraan internasional atau lembaga donor, rencana evakuasi ini dapat dianggap sebagai pengeluaran simbolik yang menciptakan disparitas antara nilai moral negara dengan aspirasi kebutuhan rakyatnya. Jika penampungan dilakukan melalui kerja sama internasional yang melibatkan hibah luar negeri, partisipasi lembaga internasional, atau filantropi global, maka beban fiskal domestik bisa ditekan.Â
Selain itu, rencana evakuasi ini juga dapat menciptakan perasaan ketidakadilan distributif di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, terutama di daerah tertinggal dan miskin. Ketika masyarakat menyaksikan negara dengan mudahnya mengalokasikan anggaran besar untuk kepentingan luar negeri sementara masih banyak penduduk sendiri yang belum terlayani fasilitas dasar, maka secara psikososial, muncul persepsi alienation terhadap negara. Hal ini berpotensi merusak legitimasi pemerintah, terutama jika ditambah oleh minimnya transparansi dalam penggunaan anggaran. Teori economic grievance dalam ilmu politik mengonfirmasi bahwa ketimpangan ekonomi yang dipersepsikan dapat menciptakan disonansi sosial yang pada gilirannya mendorong polarisasi politik dan krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Maka perlu dipastikan bahwa pembiayaan kebijakan ini tidak menggunakan dana APBN secara langsung, melainkan melalui skema yang akuntabel dan partisipatif.
Dimensi Kriminologi: Antara Kerentanan Sosial dan Deviasi Struktural
Dalam kacamata kriminologi, penempatan sekelompok individu dari wilayah konflik ke wilayah damai menimbulkan berbagai risiko sosial dan kultural yang tidak bisa diabaikan. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika sekelompok orang, baik pengungsi maupun pencari suaka, ditempatkan di lingkungan yang tidak memiliki kesiapan sosiologis, maka potensi terjadinya strain sosial, cultural clash, dan bahkan social labeling menjadi sangat tinggi. Teori Disorganisasi Sosial dari Clifford Shaw dan Henry McKay menjelaskan bahwa ketidakteraturan lingkungan sosial dapat menyebabkan meningkatnya peluang terjadinya perilaku menyimpang. Dalam konteks ini, para pengungsi bukan hanya berisiko menjadi pelaku, tetapi juga korban dari perilaku menyimpang akibat keterasingan sosial, perbedaan nilai, dan stigma kultural yang menyertai status mereka sebagai 'orang asing'.
Selain itu, dari sudut pandang Teori Labeling yang dikembangkan oleh Howard Becker, status hukum dan sosial dari pengungsi sangat rentan terhadap stigmatisasi dan marginalisasi. Label "pendatang asing" yang dibebani dengan beban sejarah konflik, perbedaan agama dan etnis, serta potensi narasi ideologis, bisa menjadi awal dari marginalisasi sistemik yang menghambat integrasi sosial mereka. Bila negara tidak menyediakan strategi integrasi sosial yang komprehensif meliputi pendidikan lintas budaya, dialog interkomunitas, hingga sistem pelaporan konflik sosial maka penampungan ini dapat memunculkan enclave sosial yang eksklusif dan pada akhirnya menciptakan segregasi horizontal yang rawan konflik. Pengalaman beberapa negara di Eropa yang menerima pengungsi Suriah menunjukkan bahwa ketiadaan strategi integrasi sosial dapat berujung pada peningkatan tindak kejahatan baik dari maupun terhadap komunitas pengungsi.Â
Lebih jauh, dalam konteks politik hukum pidana, belum ada pengaturan lex specialis yang mampu mengantisipasi potensi konflik hukum yang melibatkan individu dari latar belakang konflik bersenjata. Misalnya, bagaimana jika ada warga Gaza yang terlibat dalam tindak pidana di wilayah Indonesia, atau sebaliknya, menjadi korban diskriminasi dan kekerasan? Ketidaksiapan aparat penegak hukum dan kurangnya sensivitas budaya dalam penanganan perkara semacam ini dapat mengarah pada secondary victimization, yaitu korban kembali menjadi korban akibat buruknya respons institusional. Negara tidak boleh terjebak pada ilusi moral semata tanpa memastikan bahwa struktur sosial, hukum dan psikologis siap untuk menerima realitas kompleks yang dibawa oleh kehadiran para korban perang ini.
Dimensi Geopolitik: Diplomasi Kemanusiaan atau Aliansi Terselubung?
Rencana Indonesia mengevakuasi warga Gaza secara resmi membuka babak baru dalam praktik diplomasi kemanusiaan. Namun dalam analisis geopolitik, setiap tindakan negara tidak pernah sepenuhnya bebas dari dimensi kekuasaan dan kepentingan. Di tengah meningkatnya fragmentasi global akibat konflik Rusia-Ukraina, pergeseran kekuatan ke Indo-Pasifik, dan kebangkitan blok non-Barat, langkah Indonesia bisa dibaca sebagai bagian dari penataan ulang posisi strategis di mata negara-negara Timur Tengah. Ketika Indonesia menjalin komunikasi intensif dengan Mesir, Turki, Qatar, dan Yordania, muncul pertanyaan penting: sejauh mana kebijakan ini dimaksudkan murni sebagai solidaritas kemanusiaan, atau justru bagian dari strategi untuk memperkuat aliansi politik-ekonomi dalam kawasan yang kaya energi dan modal investasi?
Penting untuk dipahami bahwa tindakan kemanusiaan berskala internasional dapat dijadikan alat legitimasi oleh pemerintah untuk memperkuat posisi domestiknya. Dalam statecraft, tindakan internasional sering digunakan sebagai alat untuk meneguhkan identitas nasional, mengonsolidasikan dukungan politik, dan mencitrakan kekuatan moral negara. Namun jika langkah ini tidak dibarengi dengan transparansi motivasi dan akuntabilitas kebijakan, maka rakyat berhak mempertanyakan prioritas negara dalam pengelolaan sumber daya dan fokus pembangunan. Dalam paradigma geopolitik yang semakin kompleks, kebijakan luar negeri yang berbasis etika hanya bisa diterima publik bila disertai kejelasan dalam tata kelola dan relevansi terhadap kepentingan nasional.
Indonesia juga berisiko terjebak dalam perang proksi ideologis antara kubu Barat yang cenderung pro-Israel dan kubu Global South yang mendukung Palestina. Dalam hal ini meskipun Indonesia bersikap bebas aktif, kebijakan ini dapat menggeser persepsi pihak luar terhadap netralitas Indonesia. Hal ini dapat berdampak pada posisi tawar dalam forum internasional seperti G20, WTO, dan bahkan ASEAN, di mana konsensus dan persepsi diplomatik memainkan peran krusial. Langkah kemanusiaan ini tidak boleh dijalankan dengan narasi politik satu arah, tetapi harus disertai penegasan ulang atas prinsip netralitas diplomasi Indonesia, serta penolakan eksplisit terhadap semua bentuk pemanfaatan politik terhadap warga sipil yang terdampak konflik.
Lebih lauh, dalam politik domestik langkah ini bisa ditafsirkan sebagai strategi pencitraan kekuasaan dalam membangun legitimasi moral internasional. Namun jika tidak dikomunikasikan secara baik kepada publik dan tidak didasarkan pada partisipasi serta transparansi kebijakan, maka justru akan memunculkan resistensi sosial dan politik. Salah satu pelajaran penting dari studi policy backlash adalah bahwa kebijakan yang tidak disertai komunikasi risiko yang jelas cenderung memicu ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara.