Langit di atas bentangan sawah tempat kami mengolah kehidupan begitu biru dengan sedikit awan putih yang berarak pelan ke utara.
Ada petak-petak bera penuh rerumputan dan gulma kering kekurangan air. Ada bentangan dengan lombok, sawi, bayam, dan kenikir yang dibiarkan menua tanpa dipanen karena harga jatuh tersungkur.
Ada petak-petak tomat yang mulai terbengkalai entah kapan dipetik. Menunggu harga kembali ke batas harga setidaknya sesuai modal keluar.
Di hamparan lain, tanaman jagung menguasai lahan-lahan petani yang bekerja sama dengan perusahaan pengembangan hortikultura. Ada yang masih semi bunganya. Ada pula yang bonggolnya sudah mulai gendut berisi.
Tak sedikit juga yang harus dibabat karena bonggolnya sudah terbuka akibat pesta pora para tikus di malam hari yang dengan rakus menyantap bonggol-bonggol muda.Â
Di hamparan lain, ada juga canda tawa wajah-wajah ceria di bawah terik mentari dari pagi hingga siang hari. Mereka gembira panen raya kali ini menambah pundi-pundi simpanan mereka.
Bukan hanya pemilik lahan dan perusahaan yang mendanai penanaman jagung yang begitu gembira. Buruh tani yang mengolah sawah, buruh petik, buruh angkut, dan waker pengatur irigasi juga ikut bergembira. Mereka akan mendapat rejeki tambahan karena harga jagung sedang naik tangga.
Suatu yang membanggakan dan patut dibanggakan, lahan seukuran 40 x 100 m saja dalam semusim bisa menyedot antara 10 - 20 tenaga kerja.Â
Para petani menciptakan lapangan kerja.Â
Di sudut lain, beberapa petani berdiri terpaku melihat hamparan padinya banyak yang ompong karena serbuan pipit tiada ampun.
September kelabu? Entahlah. Di tengah perputaran hidup yang terus berubah yang kadang sulit diperkirakan toh semua harus dijalani.