Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mendaki ke Puncak Biru, Mahameru

1 Agustus 2020   10:58 Diperbarui: 1 Agustus 2020   11:10 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puncak Mahameru dan Desa Ranu Pani, Lumajang. Dokpri

Dalam percakapan santai tentang  keindahan, kesuburan, dan enaknya hidup di pedesaan tiga orang teman kami meminta ikut kalau akan berpetualang ke pedesaaan, pinggir hutan, atau naik gunung untuk diajak.

Secara terus terang kami berlima mengajukan syarat segala perlengkapan menjadi tanggung setiap pribadi dan kami tidak akan meminjami. Syarat ini kami berikan bertujuan untuk menolak secara halus karena tiga teman kami ini termasuk kaum rumahan walau saat itu baru tahun 78. Entah bagaimana upayanya, ternyata ketika kami berlima akan mendaki Panderman, sebuah gunung di Batu yang tingginya tak lebih 2000 mdpl, tiga orang tersebut berhasil mendapat pinjaman berupa tenda. Akhirnya ia kami pun berangkat delapan orang. Lima putra dan tiga putri.

Apa yang kami duga ternyata benar. Ketika baru berjalan kaki dua jam hanya sampai di lereng Panderman salah satu teman putra dari mereka merengek-rengek minta turun dan diantar pulang. Tentu saja kami menolak sekali pun dia berteriak-teriak hampir histeris. Bahkan sempat kami tinggal sejauh sekitar 100 m di tengah hutan. Semua sepakat untuk memberi pelajaran dia yang semaunya sendiri. Kecuali saya yang dianggap berani untuk mengawasi dari persembunyian. Rupanya jurus kami cukup menggetarkan dia yang ketakutan menjadi terpaksa berani untuk menyusul. Jam 6 sore sampailah kami di puncak dan mendirikan  tenda.

Satu kejadian lagi, ternyata satu teman kami yang lain rupanya amat menyesal ternyata puncak gunung hanya belukar dengan selimutan kabut. Semalam dia menggigau. Syukurlah bukan histeria.

Paginya tiga putra yang memaksakan diri untuk ikut menjadi sebuah gank yang cuek pada kami berlima. Walau pagi itu cerah dengan pemandangan matahari terbit serta bentangan kabut pagi, rupanya tidak membuat wajah mereka ceria.

Setahun kemudian, kami mendaki ke puncak Mahameru. Kali yang berangkat hanya enam orang. Dua orang yang menangis di Panderman jelas kami tolak.
Perjalanan ke Semeru kala itu harus lewat Senduro, Lumajang dengan jalan kaki selama 3 hari 3 malam.

Perjalanan yang berat membuat 3 orang teman kami menyerah hingga Ranu Kumbolo. Sedang saya dan dua teman meneruskan pendakian ke puncak. Dua ratus meter menjelang puncak saya yang harus tau diri untuk tidak melanjutkan bukan menyerah. Sedang dua teman saya berhasil. Mereka bangga dan saya juga ikut bangga. Kisah ini sudah saya tulis di Kompasiana pada Februari 2012 dengan judul: Spiritualitas Pendakian Gunung.

Sepuluh tahun berlalu, kami semua sudah sibuk dengan pekerjaan dan profesi masing-masing. Tinggal saya sendiri masih suka berpetualang dan mendaki di sekitar Bromo Tengger Semeru atau gowes di alam terbuka hingga kini. Kadang sendiri, kadang bersama keluarga termasuk mengajak putri-putri kami saat berumur dua tahun.

Ranu Kumbolo. Dokumen pribadi.
Ranu Kumbolo. Dokumen pribadi.
Tak ada rasa bosan. Alam bagi saya dan keluarga adalah tempat belajar dan menempa diri. Sampai di puncak biru ada rasa bahagia bisa menaklukkan perjalanan yang penuh tantangan yang akan tercapai jika bisa mengalahkan diri sendiri tanpa rasa angkuh. Berjalan bersama teman dan berdampingan adalah kekuatan. Namun kalah harus mengakui kekuatan diri yang terbatas sehingga tak bisa melanjutkan haruslah diterima penuh kerendahan hati.

Puncak tertinggi dengan langit biru yang cerah bukan untuk disombongkan. Bukan pula untuk dianggap sepele karena belum bisa mencapainya. Jangan sampai menunjuk orang lain  karena gagal mendaki. Bila memang baru bisa mendaki bukit atau setidaknya memanjat pohon mangga haruslah tetap disyukuri. Bisa dan mampu mendaki gunung belum tentu berani memanjat pohon kelapa. Iya kan?

Bisa menulis politik belum tentu bisa nulis puisi. Bisa menulis cerpen belum tentu bisa ekonomi. Bisa menulis budaya belum tentu bisa menulis humor. Bisa menulis musik belum tentu menulis masakan. Suka traveling belum tentu bisa menceritakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun