Jumat, 9 November 2018 sekali pun mendung cukup tebal dan angin dari hutan jati cukup deras namun suhu cuaca di Desa Grajagan menunjukkan angka 36C.
Udara yang amat gerah bagi penulis yang terbiasa hidup di daerah pegunungan sekitar Bromo. Ditambah lagi pada hari itu penulis sedang berada di dekat sebuah jobongan untuk melihat pembakaran batu kapur untuk dijadikan kapur atau gamping.
Jobongan adalah sebuah tungku untuk membakar batu kapur yang diambil atau digali dari tebing-tebing perbukitan kapur. Jobongan bentuknya seperti sumur namun menjulang ke atas setinggi sekitar 5-6 meter dengan garis tengah atas 4 meter dan garis tengah bawah 2,5 meter.Â
Jadi bentuknya mengerucut ke bawah. Sekali pun menjulang ke atas, bentuknya tidak seperti menara sebab di sisi depan merupakan urukan batu kapur dan tanah kapur yang miring sekitar 45 derajat. Urukan dengan kemiringan ini digunakan untuk naiknya praoto atau truk yang akan menurunkan dan memasukkan batu kapur mentah.
Setiap jobongan bisa memuat sekitar 19 ton batu kapur. Batu kapur ini diambil dari penggalian tambang tradisional batu kapur di Puger, Jember.
Bahan bakar pembakaran batu kapur ini masih dengan tradisional yakni menggunakan kayu pohon karet, mindi, dan sengon yang dibeli dari masyarakat.
Masyarakat sendiri menebang dari kebun sendiri maupun dari hutan yang dikelola masyarakat atas ijin yang berwenang. Kayu-kayu ini dibeli masih dalam bentuk gelondongan ada yang garis tengahnya 40 cm, sehingga harus dipotong dengan mesin gergaji.
Proses pembakaran berlangsung selama tiga hari berturut-turut tanpa henti dengan menghabiskan kayu bakar sebanyak 36m atau 3 rit atau bak truk. Kayu-kayu bahan bakar ini harus dimasukkan ke dalam tungku hampir setiap 10 menit sekali.
Bahkan di hari ketiga atau hari terakhir, 5 pekerja dan pemilik pembakaran atau jobongan tidak istirahat sama sekali. Pembakaran pada hari pertama biasanya dimulai jam 8 pagi dan selesai pada hari ke 3 sekitar jam 3 atau 4 pagi.Â
Empat jam setelah pembakaran selesai, batu kapur yang telah masak atau menjadi gamping akan langsung diambil dari tungku. Padahal gamping masih belum dingin sepenuhnya.Â
Ini dilakukan agar gamping tetap berbentuk batu dan tidak merekah atau pecah menjadi bubuk batu kapur yang menurut Pak Harto, sang pemilik akan menurunkan harga. Apalagi saat itu mendung hitam tebal menggelayut seakan mau turun hujan yang bisa merusak gamping menjadi lembek atau bubur gamping.
Satu orang mengambil dari tungku dan memasukkan ke dalam tong, dua orang menimbang dan menaikkan ke dalam bak truk, seorang bagian membersihkan sekitar jobongan, dan seorang lagi bertugas menata di dalam bak truk agar bisa memuat 6-7 ton per rit atau sekali angkut. Sedangkan bagian pengantar atau pengemudi truk adalah Pak Harto sang pemilik jobongan itu sendiri. Untuk menurunkan di tujuan yakni 5 orang pekerja tadi.
Pak Harto yang telah menjadi juragan pembakaran batu kapur selama lebih dari 30 tahun ini, menceritakan sepakterjangnya hingga bisa membawa anak-anaknya sukses dalam pendidikan dan kehidupannya.Â
Beliau pun menceritakan bagaimana kini amat sulit untuk mendapat perpanjangan ijin usaha pembakaran batu kapur dari pemerintah daerah. Mungkin Pak Harto kurang menyadari bagaimana akibat buruk dari sisi ekologi pembakaran batu kapur ini telah merusak alam dan lingkungan atau bahkan ekosistem.
Di daerah Malang Selatan yang kondisinya tak jauh berbeda dengan selatan Banyuwangi sudah tidak ada lagi tempat penambangan dan pembakaran batu kapur sejak 20 tahun silam.
Bahkan bahan baku atau batu kapur mentah masih diambil dari Puger, Jember yang saat ini masih ada bukit atau gunung batu kapur yang secara amdal bisa dan diijinkan untuk digali. Mahalnya harga kayu bakar, pelarangan menggunakan solar, serta pertimbangan polusi yang parah akibat pembakaran sehingga sedikit demi sedikit mematikan usaha ini.
Minggu tengah malam, wajah Pak Harto tampak demikian lelah dan kuyuh. Demikian juga tiga orang karyawannya. Matanya yang mulai cekung dengan sedikit tatapan kosong menggambarkan perjuangan yang demikian keras harus berakhir beberapa bulan lagi.
Sesekali mereka menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya yang tak sempat melambung karena tertiup angin dari hutan jati yang hanya berjarak 100 meter dan seakan mengatakan bahwa usahanya akan berakhir.
Mulai mengambil batu kapur dari penggalian hingga mengirim gamping yang memakan waktu sekitar seminggu. Sebuah perjuangan yang berat dengan hasil yang kecil.
Di belakang bak truk depan tungku, Pak Harto yang duduk di samping penulis tampak demikian lelah. Tangannya di dahi seakan menyangga kehidupan para karyawannya yang sebentar lagi akan kehilangan mata pencaharian.
Sebagai seorang ayah, Beliau telah bangga telah mengantar putra-putrinya sukses dalam pendidikan dan kehidupan. Namun tanggungjawab sebagai seorang pengusaha kecil memikirkan nasib karyawan tak akan pernah diabaikan.