Mohon tunggu...
Susi Diah Hardaniati
Susi Diah Hardaniati Mohon Tunggu... Lainnya - IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

life is nothing but a daring adventure - helen keller

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fiksicinta - Hari Ini Istimewa Bagiku

18 Februari 2014   01:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdiri berdampingan dengan Kang Pardi selalu mengalihkan aku dari fajar yang menjelang. Setiap pagi, aku memandangi ikal rambutnya dengan kerinduan untuk merasakannya di sela-sela jariku. Setiap pagi aku berharap pandangan teduh itu tertuju padaku. Setiap pagi aku berharap akulah yang membuatkan segelas teh yang tidak hanya menghangatkan jari-jarinya, namun juga hatinya. Setiap pagi aku berharap bisa mengucapkan "hati-hati di jalan" setiap kali ia berangkat bekerja. Setiap pagi aku berharap bisa berhenti berharap dan berangan-angan tentang Kang Pardi dan aku, tapi aku tak bisa.

Hari ini istimewa bagiku. Hari peringatan kematianku. Hari ini juga hari terakhir Kang Pardi menempati kamarnya. Besok dia pindah ke tempat lain. Surabaya, kudengar dia berkata pada cucu Warno. Barang-barangnya sudah dikirim ke tempatnya yang baru, sehingga kamarnya nyaris kosong. Sebuah tas kain berdiri di sudut, berisi sisa pakaian Kang Pardi.

"Sugeng enjang, Kang. Pagi ini indah sekali, ya," sapaku lembut seperti biasa ketika Kang Pardi membuat teh hangat di pawon, lalu duduk di hadapannya. Ini sapaan pagi terakhir yang bisa kuucapkan padanya, sebelum dia pergi dari rumah ini, pergi dari duniaku.

Pandanganku berkabut. Ada nyeri di tempat jantungku pernah berada. "Jangan pergi, ya Kang..." pintaku. Walaupun sia-sia, aku  tak bisa menahan diri untuk mengatakannya. Bila dia pergi, lalu aku bagaimana? Aku selalu tahu, suatu ketika nanti Kang Pardi akan meninggalkan rumah ini. Tapi tidak sekarang. Jangan sekarang.

Tangan Kang Pardi berhenti sejenak. Matanya menatap ke arahku, seakan-akan dia bisa melihatku. Dahinya sedikit berkerut, lalu kembali mengaduk gula dalam gelas tehnya. Aku berharap dia mendengarku. Aku berharap dia merindukan aku, tapi bisakah Kang Pardi merindukan sesuatu yang tidak pernah ditemuinya?

Setelah menyesap habis tehnya, Kang Pardi membersihkan sepeda motor dinasnya. Setelah mandi dan sarapan seadanya di pawon, Kang Pardi berangkat bekerja. Aku tahu seharusnya aku berdoa supaya dia baik-baik saja di Surabaya, tapi aku tak bisa. Sebagian diriku berharap dia tidak pergi.

Karena itu aku tak percaya ketika melihat Kang Pardi berjalan melintasi pekarangan. Matahari baru saja melewati titik tertingginya, jadi biasanya jam segini Kang Pardi belum pulang. Ada apa? Apa dia batal pergi? Atau ada yang ketinggalan?

Ketika melintas di hadapanku, Kang Pardi melayangkan senyum sambil berkata, "Nuwun sewu, Mbak..."

Seandainya bisa, aku pasti sudah semaput karena kaget. Nuwun sewu? Kang Pardi bilang "Nuwun sewu"?

Sambil ternganga, kulihat Kang Pardi berjalan lurus ke kamarnya. Dengan tergopoh-gopoh kujejeri langkahnya. "Kang Pardi bisa melihat saya?" tanyaku terbata-bata.

Senyum terkulum di bibir Kang Pardi ketika ia mengangguk. Matanya bersinar-sinar ketika memandangku, ceria campur usil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun