Harapan pada Muktamar X PPP (Partai Persatuan Pembangunan) agar mengakhiri berbagai konflik internal pupus sudah, pasalnya dalam muktamar yang digelar di Kawasan Ancol, Jakarta, itu bukan proses muktamar yang normal sehingga memunculkan dualisme kepemimpinan. Masing-masing kubu mengakui dipilih secara aklamasi dan merasa sah memimpin partai berlambah Kabah itu.
Muktamar X sendiri merupakan muktamar pertama bagi partai yang sudah tidak memiliki lagi kursi di DPR. Sejak berdiri pada tahun 1973 dan mengikuti Pemilu Tahun 1977 hingga Pemilu 2019, PPP selalu hadir di Senayan namun di Pemilu 2024, suara yang diraihnya 3,8 persen tidak mampu mengantarkan kembali ke sana.
Gagalnya partai ini dalam Pemilu 2024, dikatakan dikarenakan konflik internal di antara pengurus. Mulai dari masa Suryadarma Ali, kepengurusan PPP jatuh bangun dan selalu bertengkar di antara mereka sehingga pengurus, kader, dan caleg, kurang fokus dalam menyambut dan mengikuti pemilu. Konflik internal yang disebut jadi biang tidak lolosnya ke Senayan membuat masalah ini tidak terulang setelah Muktamar X. Untuk itu mereka selalu menggaungkan mengakhiri perpecahan.
Namun apakah konflik internal itu akan selesai? Melihat ulasan di Kompas, 28/9/2025, meski kita tidak menghendaki konflik berlanjut tetapi potensi konflik tetap ada dengan melihat proses pemilihan ketua umum yang menurut politikus senior partai itu, Syaifullah Tamliha, melanggar tata tertib karena tidak taat jadwal. Kondisi yang demikian akan menimbulkan gugatan di pihak yang lain bila tidak terakomodasi dalam kepengurusan.
Terlepas dari konflik internal yang jadi kambing hitam, ada masalah dan dinamika politik eksternal yang tidak direspon secara cepat oleh PPP yang juga menjadi faktor mengapa partai ini dari waktu ke waktu suaranya terus menyusut hingga tidak lolos parliamentary threshold.
Apa saja faktor penyerta, masalah dan dinamika eksternal, yang menjadi biang PPP suaranya terus menyusut hingga tak lolos ke Senayan? Pertama, partai ini dalam masa Orde Baru merupakan saluran aspirasi Umat Islam. Seluruh kekuatan Ormas Islam dan aktor-aktor politiknya menjadikan PPP sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan umat. Bagi umat yang militan dan tradisional, tak ada saluran yang lain kecuali PPP sehingga suara yang didulang cukup atau lebih dalam mewarnai kontestasi di DPR/MPR.
Saat di DPR, partai ini juga mampu memainkan peran yang kuat sehingga jargon sebagai pejuang aspirasi umat menjadi suatu yang nyata dan bukti.
Ketika Orde Reformasi terbentuk di mana di sana ada kebebasan mendirikan partai, maka unsur PPP berfisi (membelah). Massa dan tokoh-tokoh NU pada migrasi ke PKB. Demikian juga element fusi lainnya. Kantong Umat Islam yang lain, seperti di Muhammadiyah, pun cenderung mengalihkan ke PAN. Juga ada aliran massa Islam lainnya yang menjadikan PK yang selanjutnya menjadi PKS sebagai pilihan.
Hadirnya berbagai partai yang berhaluan Islam dan irisannya itulah yang secara langsung mempengaruhi perolehan suara PPP. Partai ini sudah bukan sebagai satu-satunya saluran aspirasi Umat Islam sehingga umat tak wajib memilihnya karena ada saluran lain yang dirasa lebih dekat dari sisi organisasi dan jamaah.
Kedua, keterbukaan dan akomodatifnya partai 'non Islam' kepada umat Islam. Dalam perjalanan waktu di era masa reformasi, partai-partai non Islam semakin terbuka dan akomodatif terhadap aktor politik Umat Islam maupun kepentingan umat. Ini dilakukan semua partai, tidak hanya Golkar, PAN, Â Demokrat, Nasdem, Gerindra namun juga PDI-P. Paling jelas di depan mata bagaimana partai-partai non Islam merekrut kader-kader organisasi kepemudaan dan mahasiswa Islam, seperti HMI, menjadi pengurus dan anggota DPR. Jumlah yang direkrut ini tidak sedikit sehingga aktivis-aktivis Islam ini juga menjadi pewarna di partai-partai non Islam.
Hal demikian tentu berbeda dengan di masa Orde Baru, di mana kader HMI juga PMII larinya ke PPP. Banyaknya aktivis Islam ini pastinya juga akan diikuti massa di bawahnya sehingga secara otomatis akan mempengaruhi perolehan suara pada partai PPP yang sebelumnya menjadi tempat saluran aspirasi. Â