Mengacu pada perhitungan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dengan mengolah daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) DPR 2023-2025, penghasilan satu anggota DPR ditaksir mencapai Rp230 juta per bulan. Bila tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan tidak dicabut karena tekanan massa, tentu pendapatan yang didapat bisa lebih tinggi.
Dalam satu tahun, ia bisa mengumpulkan uang sebanyak Rp2,8 miliar. Satu periode jabatan anggota DPR, 5 tahun, bisa terkumpul Rp14 miliar. Dilihat dari angka gaji dalam 1 bulan, 1 tahun, dan 5 tahun, menunjukan bahwa kehidupan anggota DPR semakin sejahtera.
Dengan mengumpulkan uang sebanyak Rp14 miliar dalam satu periode, sepertinya pendapatan yang diterima mampu menutupi biaya pengeluaran untuk menjadi anggota DPR. Bila mengacu pada omongan mantan Wakil Ketua DPR 2014-2019 dan sekarang menjadi Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Fahri Hamzah, ia menyebut untuk menjadi anggpta DPR dibutuhkan ongkos politik kisaran Rp5 miliar hingga Rp15 miliar (cnbcindonesia.com, 27/5/2023).
Dengan itung-itungan gaji dari laporan FITRA selama satu periode dengan biaya yang dikeluarkan, menjadi anggota DPR ternyata banyak yang untung apalagi mereka yang memiliki modal sosial yang tinggi seperti artis, tokoh adat, dan kiai yang biaya pengeluarannya lebih bisa ditekan. Dari sinilah maka yang terpilih menjadi anggota DPR akan terus bertahan dan yang kalah akah terus berusaha untuk tepilih.
Meski di atas kertas gaji tinggi namun apakah para wakil rakyat itu benar-benar mandi uang? Bagi masyarakat, mereka melihat menjadi anggota DPR, selain uangnya melimpah, dirinya juga dihormati dalam berbagai forum, baik saat dalam pertemuan dengan para pejabat apalagi saat bertemu rakyat.
Namun pandangan hidup enak yang dirasakan oleh anggota DPR belum tentu benar-benar dirasakan. Sebagai wakil rakyat, mereka juga mempunyai beban. Tekanan hidup kepadanya datang dari segala penjuru, dari partainya sendiri, dari konstituen, hingga dari masyarakat luas.
Sebagai anggota partai, ia harus menaati aturan-aturan yang ada. Meski dalam sidang-sidang mereka kritis dan seolah-olah membela rakyat namun sejatinya itu bukan kreasinya sendiri. Partai sudah memberi garis-garis kebijakan mana yang harus didukung dan mana yang tak boleh. Jadi sebagai orang partai mereka harus memperjuangkan kepentingan partai selanjutnya kepentingan rakyat dan berikutnya kepentingan diri sendiri.
Selain apa yang diomongkan harus sesuai arahan dan kebijakan partai, mereka harus menyetor potongan gaji buat partai. Potongan gaji masing-masing partai berbeda. Di Partai Golkar, seperti dikatakan oleh salah satu anggota fraksinya, Zulfikar Arse Sadikin, mereka harus membayar iuran ke partai sebesar Rp12 juta per bulan. Uang senilai itu di Indonesia dikatakan besar apalagi bagi rakyat kecil.
Iuran sebesar ini pasti membuat banyak anggota nggrundel (mengeluh) namun banyak anggota yang lebih memilih diam agar tak diberi sanksi oleh partainya. Pernah ada cerita anggota DPR Fraksi PDI-P Krisdayanti yang dipanggil fraksi gara-gara ia ngomong blak-blakan soal gaji beserta potongannya.
Selain tekanan dari partai, ada tekanan yang lebih 'mengerikan' yang berasal dari konstituennya. Tingginya gaji DPR direspon oleh anggota DPR Fraksi PDI-P Aria Bima (Kompas, 26/8/2025) bahwa gajinya untuk mengurus konstituennya seperti untuk ambulans, tangki air, sanggar tari, dan yang lainnya.
Apa yang disampaikan Aria Bima itu benar dan juga dilakukan oleh anggota lainnya. Demi menjaga konstituennya agar loyal, biasanya anggota DPR rela memenuhi apa yang diinginkan oleh mereka. Bila yang meminta sesuatu itu satu, dua, orang tidak akan menggerus gaji namun bila yang meminta satu dapil yang terbagi dalam beberapa kabupaten/kota bahkan satu provinsi tentu hal demikian akan menguras isi tas.