Faktornya, pertama, ada masyarakat yang hanya menginginkan suasana stabil, ayem, dan tidak terjadi kegaduhan di tengah kehidupan. Mereka tak peduli dengan dinamika dan perubahan.Â
Mereka tidak peduli siapa pemimpinnya asal bisa menjamin suasana yang bisa membuat mereka nyaman. Laki-laki atau perempuan, tua atau muda, yang memimpin tak menjadi masalah sehingga ketika dipimpin oleh keluarga dari itu-itu saja, masyarakat pun tak protes.Â
Masyarakat cenderung memilih sosok yang sudah jelas dan mapan daripada sosok yang baru namun masih penuh dengan keraguan. Di beberapa daerah yang dipimpin politik dinasti, biasanya daerah itu sepi dari kegaduhan. Lihat saja kondisi Kabupaten Kediri, Klaten, dan Provinsi Banten, daerah itu relatif stabil.
Kedua, memang masyarakat yang menciptakan politik dinasti itu sendiri. Sebagai masyarakat yang masih berada dalam lingkup tradisional, yang masih memegang tradisi-tradisi masa lalu, mereka memilih pemimpin yang dirasa mempunyai kharisma atau yang memiliki hubungan dengan kekuatan di luar kemampuan manusia.
Dengan pandangan ini, tak heran bila orang-orang yang mempunyai darah biru, bangsawan, yang bergelar pangeran, raden, ratu, sultan, atau gelar lainnya menjadi kepala derah.Â
Masyarakat yang demikian biasanya merasa lebih bangga dipimpin oleh orang yang mempunyai gelar kebangsawanan daripada dipimpin oleh orang biasa. Dari sinilah maka bila bangsawan maju dalam Pilkada tingkat keterpilihannya tinggi. Â Â Â
Ketiga, politik dinasti muncul memang direncanakan. Seorang bupati atau pemimpin lainnya yang berpikiran jauh ke depan, biasanya mereka memikirkan bagaimana kekuasaan yang ada di tangannya abadi. Bila dirinya sudah tidak ada, harus ada penerusnya. Nah penerusnya itu bisa saja anak, istri, atau saudara. Untuk itulah secara diam-diam, mereka mempersiapkan hal itu.
Bila ke mana-mana, misalnya, istrinya diajak ke tengah masyarakat agar pada tahu semua. Kemudian anak dan istrinya diberi wadah, badan, atau usaha yang langsung berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Istrinya didorong aktif di PKK atau lembaga amal yang dibiayai secara penuh oleh APBD; atau anaknya didukung menjadi ketua organisasi masyarakat atau olahraga di mana organisasi itu juga dibiayai secara penuh dengan APBD.Â
Dengan cara itu, anak dan istrinya itu selama beberapa tahun sudah melakukan ‘kampanye’ hingga populer dan dekat dengan rakyat.
Dengan demikian, politik dinasti ada karena tak selamanya nafsu keluarga atau dinasti itu yang ingin berkuasa namun juga karena dorongan dan dukungan masyarakat.Â
Kita tak bisa menyalahkan masyarakat yang memilih. Menghadapi adanya politik dinasti atau bukan kuncinya adalah adanya penegakan hukum. Politik dinasti berkonotasi buruk sebab biasanya karena hukum tidak menjangkau mereka.