Korupsi di Indonesia ibarat penyakit kronis yang menular ke berbagai sendi kehidupan bangsa. Dari proyek infrastruktur, politik, hingga dunia pendidikan---semuanya tak luput dari praktik busuk yang menggerogoti kepercayaan publik. Namun yang paling ironis adalah ketika korupsi menyentuh ranah pendidikan, tempat di mana nilai-nilai kejujuran dan moral seharusnya diajarkan. Lebih menyakitkan lagi, perlakuan terhadap para pelaku korupsi di sektor ini sering kali berbeda dibandingkan pelaku di sektor lain. Ada yang divonis ringan, ada pula yang seolah mendapat "pemaafan sosial", sementara masyarakat kecil tetap menanggung akibatnya: pendidikan yang mahal, fasilitas buruk, dan masa depan anak bangsa yang suram.
Wajah Buram Korupsi di Dunia Pendidikan
Data dari Indonesia Corruption Watch menunjukkan bahwa sepanjang lima tahun terakhir, sektor pendidikan selalu masuk dalam lima besar kasus korupsi terbanyak di Indonesia. Tercatat ratusan kasus dengan nilai kerugian negara mencapai lebih dari satu triliun rupiah. Modusnya pun beragam---mulai dari pengadaan buku dan alat sekolah fiktif, penyunatan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), hingga jual beli kursi dalam penerimaan siswa dan mahasiswa baru.
Kasus di Universitas Lampung beberapa waktu lalu menjadi bukti nyata bahwa korupsi tidak hanya terjadi di level pejabat tinggi negara, tetapi juga di lembaga pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi integritas. Mantan rektor universitas tersebut terbukti menerima suap ratusan juta rupiah untuk meloloskan calon mahasiswa melalui jalur mandiri. Di sisi lain, di banyak daerah, kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan terjerat kasus serupa karena memotong dana BOS atau memanipulasi laporan keuangan sekolah.
Padahal, dana pendidikan adalah napas utama bagi jutaan anak Indonesia untuk mendapatkan akses belajar yang layak. Setiap rupiah yang diselewengkan berarti ada murid yang kehilangan buku, ruang kelas yang tidak diperbaiki, atau guru yang tidak menerima pelatihan yang layak.
Beda Perlakuan, Beda Nasib
Perlakuan terhadap pelaku korupsi di sektor pendidikan sering kali menunjukkan ketimpangan yang mencolok dibandingkan pelaku di sektor lain. Dalam banyak kasus, vonis yang dijatuhkan pengadilan justru cenderung ringan, bahkan tidak mencerminkan kerusakan moral dan sosial yang ditimbulkan.
Rata-rata hukuman untuk kasus korupsi di Indonesia masih berada di kisaran 3--4 tahun penjara, meskipun nilai kerugian negara bisa mencapai miliaran rupiah. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku hanya dikenai hukuman percobaan atau denda yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada kerugian yang mereka timbulkan. Tak jarang, setelah menjalani masa tahanan, mereka kembali bekerja di institusi pendidikan atau bahkan mendapatkan posisi baru di lembaga lain.
Di sisi lain, pelaku kejahatan kecil seperti pencurian sandal, mencuri beras, atau pelanggaran ringan lainnya sering mendapat hukuman yang lebih keras dan cepat dieksekusi. Ketimpangan ini menimbulkan kesan bahwa hukum di Indonesia masih tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Kasus korupsi di pendidikan juga jarang menimbulkan efek jera. Uang pengganti yang dibayarkan pelaku umumnya tidak sebanding dengan kerugian negara. Sering kali, hanya sebagian kecil dari dana yang dikorupsi yang berhasil dikembalikan, sementara sisanya lenyap bersama sistem pengawasan yang lemah.