Operasi Seroja adalah salah satu bab paling kontroversial dalam sejarah Indonesia modern. Peristiwa ini dimulai pada 7 Desember 1975, ketika militer Indonesia melancarkan invasi besar-besaran ke Timor Timur (kini Timor-Leste), hanya sehari setelah Presiden Soeharto menyetujui perintah resmi. Bagi sebagian pihak, operasi ini dianggap sebagai misi penyelamatan rakyat Timor Timur dari kekacauan politik pasca keluarnya Portugis dari wilayah tersebut. Namun bagi dunia internasional, Operasi Seroja adalah bentuk aneksasi paksa yang kemudian menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam skala besar.
Latar Belakang: Dari Koloni Portugis ke Medan Konflik
Timor Timur merupakan koloni Portugis selama lebih dari 400 tahun. Pada tahun 1974, Revolusi Bunga di Portugal mengguncang rezim diktator Salazar, sehingga Lisboa mulai melepas koloni-koloninya, termasuk Timor Timur. Kekosongan politik inilah yang kemudian melahirkan perebutan pengaruh antara kelompok-kelompok lokal:
UDT (Uni Demokratik Timor): Pro-Portugal, menginginkan kemerdekaan bertahap.
Apodeti (Asosiasi Rakyat Timor): Pro-Indonesia, mendukung integrasi dengan NKRI.
Fretilin (Frente Revolucionria de Timor-Leste Independente): Berhaluan kiri, mendorong kemerdekaan penuh dan segera.
Konflik bersenjata pecah pada Agustus 1975 antara UDT dan Fretilin. Fretilin akhirnya menguasai Dili dan pada 28 November 1975 memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur. Indonesia melihat hal ini sebagai ancaman, terutama karena khawatir Fretilin yang berhaluan kiri mendapat dukungan dari blok komunis di tengah Perang Dingin.
Jalannya Operasi Seroja
Pada 7 Desember 1975, sekitar 15.000 pasukan Indonesia mendarat di Dili. Operasi militer ini menggunakan kekuatan penuh, baik angkatan darat, laut, maupun udara. Presiden Soeharto beralasan bahwa langkah ini untuk mencegah Timor Timur jatuh ke tangan komunisme dan demi stabilitas kawasan. Namun, menurut catatan Amnesty International dan Human Rights Watch, invasi tersebut menewaskan ribuan warga sipil hanya dalam beberapa bulan pertama.
Dalam dua dekade berikutnya, konflik bersenjata terus berlangsung antara TNI (dulu ABRI) dan kelompok perlawanan Fretilin. Masyarakat sipil menjadi korban utama. Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR) pada 2005 menyebutkan angka korban tewas akibat kekerasan langsung, kelaparan, dan penyakit selama pendudukan Indonesia mencapai 102.800 hingga 183.000 jiwa.
Pelanggaran HAM yang Tercatat
Berbagai bentuk kejahatan HAM terjadi sepanjang pendudukan Indonesia (1975--1999), di antaranya:
Pembantaian massal: Seperti yang terjadi di Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991. Aksi damai mahasiswa berubah menjadi tragedi berdarah ketika tentara Indonesia menembaki peserta, menewaskan lebih dari 250 orang.
Penghilangan paksa dan penyiksaan: Banyak aktivis dan warga sipil ditahan tanpa proses hukum, disiksa, bahkan tidak pernah kembali.
Pemerkosaan dan kekerasan seksual: Dilaporkan meluas terhadap perempuan Timor Timur, baik sebagai alat intimidasi maupun penghukuman.
Pemindahan paksa dan kelaparan: Ratusan ribu orang dipaksa mengungsi, sementara blokade pangan menyebabkan krisis kemanusiaan.
Fakta-fakta ini menempatkan Operasi Seroja dan pendudukan Timor Timur sebagai salah satu pelanggaran HAM paling serius dalam sejarah Asia Tenggara.
Tanggung Jawab: Siapa yang Harus Memikulnya?
Pertanyaan besar muncul: siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kejahatan HAM di Timor Timur?
Pemerintah Orde Baru (1975--1998)
Presiden Soeharto sebagai panglima tertinggi saat itu tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab. Keputusan melancarkan Operasi Seroja adalah keputusan politik tingkat tinggi. Selain itu, struktur komando militer yang terpusat membuat kejahatan sistematis yang terjadi tidak mungkin berlangsung tanpa sepengetahuan elite pemerintahan.Militer Indonesia (ABRI/TNI)
Berbagai laporan menunjukkan banyak kasus pembunuhan, penyiksaan, dan kekerasan terjadi di lapangan oleh aparat keamanan. Panglima ABRI, komandan teritorial, hingga pasukan khusus yang terlibat memiliki tanggung jawab, baik secara langsung maupun komando. Dalam hukum internasional, prinsip command responsibility mewajibkan atasan bertanggung jawab atas tindakan bawahannya.Dukungan Internasional
Tidak bisa diabaikan bahwa beberapa negara besar turut memberi legitimasi. Amerika Serikat dan Australia, misalnya, mendukung langkah Indonesia karena alasan geopolitik. Dokumen deklasifikasi AS menunjukkan Presiden Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger berada di Jakarta sehari sebelum invasi, dan tidak menentangnya. Australia kemudian menjadi salah satu negara pertama yang mengakui integrasi Timor Timur ke Indonesia pada 1979.Milisi Pro-Integrasi
Setelah 1998, ketika rakyat Timor Timur diberi kesempatan melalui referendum, muncul milisi pro-integrasi yang mendapat dukungan senjata dan logistik. Pada 1999, setelah hasil referendum menunjukkan mayoritas rakyat memilih merdeka, milisi bersama aparat keamanan melakukan kekerasan massal: pembakaran, pembunuhan, dan pemerkosaan. Tindakan ini juga tergolong pelanggaran HAM berat.
Upaya Pertanggungjawaban
Pasca jajak pendapat 1999 dan lahirnya Timor-Leste sebagai negara merdeka, berbagai upaya dilakukan untuk menuntut keadilan:
Pengadilan Ad Hoc HAM Timor Timur (2002--2005) di Jakarta digelar, namun hanya menjatuhkan hukuman ringan dan banyak terdakwa dibebaskan.
Serious Crimes Unit (SCU) yang dibentuk PBB di Dili berhasil menyusun banyak berkas perkara, tetapi banyak pelaku yang berada di Indonesia tidak bisa dijangkau.
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Indonesia dan Timor-Leste (2005) akhirnya menegaskan adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematis, meski rekomendasi hukuman tegas tidak diimplementasikan.
Mengapa Pertanggungjawaban Itu Penting?
Sebagian pihak berpendapat bahwa membuka kembali luka lama hanya akan merusak hubungan kedua negara yang kini sudah membaik. Namun dari perspektif hak asasi manusia, pengungkapan kebenaran dan akuntabilitas justru penting agar sejarah tidak terulang. Korban dan keluarga korban berhak mendapatkan pengakuan, pemulihan, dan keadilan. Tanpa itu, bangsa akan terus dihantui oleh warisan kelam impunitas.
Penutup
Sejarah Operasi Seroja bukan sekadar catatan militer, tetapi juga kisah penderitaan kemanusiaan yang panjang. Dari keputusan politik tingkat tinggi, pelaksanaan militer di lapangan, hingga dukungan internasional, semua memiliki andil. Pertanggungjawaban tidak hanya soal mencari siapa yang salah, melainkan juga tentang bagaimana sebuah bangsa belajar dari masa lalunya.
Indonesia sebagai negara besar harus berani menghadapi sejarahnya sendiri. Pengakuan, permintaan maaf, dan mekanisme keadilan transisional adalah jalan penting untuk menutup luka lama dan membangun masa depan yang lebih bermartabat. Tanpa itu, nama Operasi Seroja akan terus dikenang bukan sebagai operasi pembebasan, melainkan sebagai simbol luka dan kejahatan kemanusiaan.
#SalamLiterasi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI