Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bom Waktu Di Balik Sikap Guru yang Terlalu Idealis

27 September 2025   08:00 Diperbarui: 24 September 2025   14:05 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://rise.smeru.or.id/id/blog/3-karakteristik-yang-harus-dimiliki-guru-ideal)

Guru sering dipandang sebagai sosok pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka menjadi teladan, pembimbing, dan penuntun arah masa depan generasi penerus bangsa. Namun, di balik semua harapan itu, muncul fenomena menarik sekaligus berbahaya: sikap guru yang terlalu idealis. Sekilas, sikap ini tampak mulia---berpegang teguh pada nilai, prinsip, dan visi pendidikan yang dianggap benar. Tetapi jika tidak diimbangi dengan realitas lapangan, idealisme justru bisa berubah menjadi bom waktu yang menggerogoti efektivitas pendidikan.

Idealisme Guru: Niat Baik yang Bisa Berbalik

Idealisme guru biasanya lahir dari keinginan luhur: mencerdaskan anak bangsa dengan sepenuh hati. Banyak guru menolak kompromi dengan hal-hal yang dianggap mengurangi kualitas pembelajaran, seperti kurikulum yang padat, metode belajar instan, atau campur tangan birokrasi. Mereka ingin siswa berkembang secara utuh, kritis, dan berkarakter, bukan sekadar mengejar nilai rapor.

Namun, dunia pendidikan bukan ruang hampa. Ada keterbatasan fasilitas, kondisi sosial ekonomi siswa, bahkan tekanan administratif yang sering kali bertolak belakang dengan gagasan ideal guru. Ketika guru menolak beradaptasi, benturan tak terhindarkan. Di sinilah bom waktu itu mulai berdetak.

Realitas Lapangan: Siswa dan Lingkungan yang Berbeda

Indonesia adalah negara dengan keragaman luar biasa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan terdapat lebih dari 45 juta peserta didik di tingkat dasar dan menengah yang tersebar dari kota besar hingga pelosok terpencil. Tentu kondisi mereka sangat beragam---baik dari segi akses, budaya, maupun kesiapan belajar.

Seorang guru idealis mungkin berpegang teguh pada metode pembelajaran berbasis diskusi mendalam. Tetapi bagaimana jika siswa berasal dari keluarga buruh yang setiap hari bekerja membantu orang tua, sehingga kurang waktu belajar? Bagaimana dengan sekolah di pedalaman yang listrik saja kadang padam, apalagi akses internet?

Jika guru tetap kaku dengan idealismenya, siswa justru merasa semakin tertekan. Alih-alih termotivasi, mereka bisa merasa gagal memenuhi standar yang terlalu tinggi. Akhirnya, niat baik guru berubah menjadi beban bagi murid.

Tekanan Administratif dan Kurikulum

Selain siswa, guru juga berhadapan dengan tumpukan administrasi. Laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2022 menyebutkan lebih dari 60% guru di Indonesia merasa kewalahan dengan beban administrasi yang menyita waktu mengajar.

Guru idealis sering menolak mengorbankan jam pelajaran demi mengisi dokumen atau mengikuti aturan birokrasi yang dianggap tidak relevan. Namun, penolakan itu bisa berujung pada masalah lain: sanksi dari atasan, penilaian kinerja yang buruk, bahkan konflik dengan pihak sekolah.

Jika situasi ini dibiarkan, bukan hanya guru yang tertekan, melainkan juga murid yang akhirnya menjadi korban karena pembelajaran tidak berjalan seimbang.

Psikologis Guru: Lelah, Burnout, dan Rasa Gagal

Sikap terlalu idealis bisa menimbulkan ekspektasi yang sangat tinggi, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap murid. Ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan, guru sering mengalami kekecewaan mendalam.

Penelitian dari International Journal of Educational Research (2021) menunjukkan guru dengan idealisme tinggi tetapi dukungan rendah cenderung lebih cepat mengalami burnout atau kelelahan emosional. Mereka merasa gagal karena murid tidak mencapai standar ideal yang diharapkan, padahal faktornya bisa datang dari luar kendali guru.

Burnout ini bukan masalah sepele. Guru yang lelah secara emosional bisa kehilangan empati, menjadi mudah marah, atau bahkan kehilangan semangat mengajar. Dalam jangka panjang, ini mengancam kualitas pendidikan dan kesehatan mental guru itu sendiri.

Suara Pakar: Antara Idealisme dan Realisme

Psikolog pendidikan, Ratna Megawangi, pernah menyatakan bahwa pendidikan adalah seni mencari keseimbangan: "Guru yang baik bukan hanya memegang prinsip, tetapi juga mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak." Artinya, idealisme tetap penting, tetapi harus fleksibel.

Sementara itu, Ki Hajar Dewantara---Bapak Pendidikan Nasional---sejak dulu telah menekankan pentingnya "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani." Filosofi ini sejatinya menuntut guru untuk menjadi teladan, sekaligus menyesuaikan diri dengan kondisi murid agar bisa memberi dorongan yang tepat.

Jalan Tengah: Idealisme yang Membumi

Lalu, bagaimana agar idealisme guru tidak meledak menjadi bom waktu? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

  1. Fleksibilitas dalam Metode
    Guru boleh berpegang pada nilai, tetapi harus siap menyesuaikan metode dengan kondisi kelas. Tidak semua murid mampu belajar lewat diskusi kritis; sebagian mungkin butuh pendekatan visual, praktik langsung, atau penjelasan sederhana.

  2. Kolaborasi, Bukan Konfrontasi
    Alih-alih menolak aturan birokrasi mentah-mentah, guru bisa mencari ruang dialog dengan kepala sekolah atau rekan sejawat. Dengan begitu, idealisme tetap tersampaikan tanpa menimbulkan konflik yang merugikan diri sendiri maupun siswa.

  3. Manajemen Ekspektasi
    Guru perlu menyadari bahwa setiap anak unik. Jika satu murid tidak mencapai standar ideal, bukan berarti gagal total. Fokus sebaiknya pada perkembangan bertahap, bukan kesempurnaan instan.

  4. Keseimbangan Diri
    Guru juga manusia. Menjaga kesehatan mental dan fisik sangat penting agar tetap bisa menjadi teladan. Mengikuti komunitas, pelatihan, atau sekadar berbagi pengalaman dengan sesama guru bisa menjadi cara melepas beban.

Penutup: Menjadi Guru yang Realistis-Inspiratif

Idealisme guru adalah bahan bakar yang menjaga semangat pendidikan tetap menyala. Tanpa idealisme, pendidikan bisa kehilangan arah dan makna. Namun, idealisme yang berlebihan---tanpa kemampuan membaca realitas---justru bisa berubah menjadi bom waktu.

Guru yang bijak adalah mereka yang tahu kapan harus berpegang teguh, dan kapan harus melenturkan diri. Dengan begitu, murid tidak hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga contoh nyata tentang bagaimana menghadapi hidup: teguh pada prinsip, tetapi juga luwes menghadapi kenyataan.

#SalamLiterasi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun