Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sulitnya Menemukan Tontonan yang Mengedukasi Bagi Anak Di Televisi Saat Ini, Apa Penyebabnya?

12 September 2025   08:00 Diperbarui: 11 September 2025   07:40 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://www.liputan6.com/health/read/2505936/anak-nonton-tv-3-jam-lebih-perilaku-jadi-berisiko)

Televisi sejak lama menjadi salah satu media hiburan sekaligus pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Generasi 90-an hingga awal 2000-an mungkin masih akrab dengan tontonan anak-anak yang sarat nilai moral sekaligus menyenangkan, seperti Si Unyil, Adit & Sopo Jarwo (versi awalnya), atau bahkan kartun edukatif dari luar negeri seperti Dora the Explorer dan Sesame Street. Tayangan tersebut bukan hanya menghibur, tetapi juga menanamkan pesan tentang kejujuran, kerja sama, hingga kepedulian lingkungan.

Namun, jika kita menyalakan televisi nasional saat ini, mencari tontonan serupa rasanya seperti mencari jarum dalam jerami. Program yang kental dengan nilai edukasi untuk anak semakin jarang, bahkan hampir hilang. Sebaliknya, layar kaca lebih banyak dipenuhi sinetron dengan konflik keluarga, acara gosip selebriti, talkshow dewasa, hingga reality show yang sering kali jauh dari dunia anak-anak. Pertanyaannya, mengapa begitu sulit menemukan tontonan mendidik bagi anak di televisi Indonesia saat ini?

Data: Menurunnya Program Anak di Televisi Nasional

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2022 merilis hasil pemantauan isi siaran televisi. Dari ratusan jam tayangan yang diteliti, porsi program anak hanya sekitar 2--3% dari total jam siaran. Angka ini menurun drastis dibandingkan dekade 2000-an awal, di mana televisi swasta masih rutin menayangkan kartun, dongeng, maupun drama khusus anak.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga mencatat bahwa mayoritas program anak yang masih tayang di TV swasta adalah kartun impor, bukan produksi lokal. Bahkan, kartun impor tersebut sering kali tidak memiliki nilai edukatif, melainkan sekadar hiburan dengan jalan cerita penuh aksi, kompetisi, atau komedi slapstick.

Data ini menunjukkan betapa terbatasnya pilihan anak Indonesia untuk mendapatkan tontonan yang sehat dan mendidik dari televisi, media yang hingga kini masih banyak diakses masyarakat kelas menengah ke bawah.

Mengapa Televisi Kekurangan Tontonan Edukatif?

1. Orientasi Industri Televisi yang Komersial

Televisi adalah industri yang hidup dari iklan. Program yang dinilai bisa menarik banyak penontonlah yang akan diprioritaskan. Sayangnya, program anak dianggap kurang menjual. Pengiklan lebih tertarik memasang iklan di acara sinetron prime time atau reality show dengan rating tinggi, ketimbang acara edukasi anak yang penontonnya lebih terbatas.

Akibatnya, stasiun televisi cenderung menyingkirkan acara anak demi konten yang bisa menjaring massa lebih luas, meski tanpa nilai edukatif.

2. Meningkatnya Persaingan dengan Platform Digital

Anak-anak zaman sekarang lebih akrab dengan YouTube, TikTok, atau Netflix ketimbang duduk manis menonton TV. Platform digital menawarkan tontonan interaktif, personal, dan lebih variatif. Menurut survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) 2023, lebih dari 60% anak usia 5--12 tahun di Indonesia sudah aktif mengakses internet.

Hal ini membuat stasiun televisi merasa sia-sia berinvestasi dalam produksi konten anak, karena target penontonnya sudah banyak yang berpindah ke platform digital.

3. Minimnya Kreator Lokal yang Didukung

Produksi program anak yang berkualitas membutuhkan riset, kurikulum, dan biaya besar. Sayangnya, dukungan terhadap kreator lokal masih minim. Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar---lihat saja kesuksesan film animasi lokal Si Juki, atau serial Nussa yang mendapat apresiasi internasional. Namun, karya semacam itu lebih sering muncul di YouTube atau bioskop, bukan di televisi nasional.

Kurangnya sinergi antara pemerintah, industri televisi, dan kreator lokal membuat anak-anak kehilangan tayangan edukatif di media yang seharusnya paling mudah diakses.

4. Kurangnya Regulasi yang Tegas

KPI memang memiliki aturan tentang jam tayang anak, tetapi pengawasannya masih lemah. Banyak program hiburan umum yang justru disiarkan pada jam anak, misalnya sore hingga malam hari, padahal kontennya penuh konflik, kekerasan verbal, atau percintaan orang dewasa.

Jika regulasi lebih ketat dan ada insentif untuk produksi tayangan anak, mungkin kondisinya tidak akan separah sekarang.

Dampak yang Ditimbulkan

Sulitnya menemukan tontonan edukatif di televisi bukan sekadar soal hiburan. Ada dampak serius yang perlu diperhatikan:

  1. Anak kehilangan role model positif.
    Tokoh-tokoh televisi kini lebih banyak menampilkan gaya hidup glamor atau konflik dewasa, bukan lagi sosok inspiratif yang mengajarkan kejujuran, kerja keras, atau kepedulian.

  2. Tergerusnya budaya lokal.
    Dulu, tayangan anak sering memuat cerita rakyat atau kearifan lokal. Kini, konten semacam itu nyaris hilang, tergantikan program impor yang tidak selalu relevan dengan budaya Indonesia.

  3. Ketergantungan pada media digital.
    Karena TV tidak menawarkan tontonan mendidik, anak-anak beralih ke YouTube atau platform lain tanpa filter ketat. Ini berpotensi membuka akses pada konten yang lebih berbahaya.

Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan?

Meski televisi tampak tertinggal, bukan berarti mustahil menghidupkan kembali program anak yang mendidik. Beberapa langkah bisa dipertimbangkan:

  1. Insentif bagi kreator lokal. Pemerintah bersama KPI bisa memberi dana hibah atau skema kerja sama dengan stasiun TV untuk mendukung produksi tayangan anak berkualitas.

  2. Regulasi jam tayang. Perlu aturan ketat agar jam anak diisi dengan program sesuai usia, bukan sinetron dewasa.

  3. Kolaborasi lintas platform. Tayangan anak di televisi bisa diperkuat dengan kehadiran di YouTube atau aplikasi streaming, sehingga bisa menjangkau generasi digital.

  4. Peran orang tua. Orang tua juga harus selektif mengarahkan tontonan anak, tidak hanya mengandalkan televisi, tetapi juga memanfaatkan platform digital dengan pengawasan.

Penutup

Fenomena sulitnya mencari tontonan edukatif untuk anak di televisi Indonesia adalah cermin dari orientasi industri penyiaran kita yang terlalu berfokus pada rating dan iklan. Sementara itu, kebutuhan anak-anak akan hiburan yang sehat dan mendidik kerap terabaikan.

Padahal, media memiliki peran besar dalam membentuk karakter generasi muda. Jika televisi gagal memenuhi peran itu, risiko terbesar adalah anak-anak tumbuh tanpa contoh positif dari media yang mereka konsumsi setiap hari.

Saatnya semua pihak---pemerintah, industri televisi, kreator, dan orang tua---bersinergi untuk menghadirkan tontonan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. Karena masa depan bangsa ini ditentukan oleh apa yang ditonton dan dipelajari anak-anak hari ini.

#SalamLiterasi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun