2. Meningkatnya Persaingan dengan Platform Digital
Anak-anak zaman sekarang lebih akrab dengan YouTube, TikTok, atau Netflix ketimbang duduk manis menonton TV. Platform digital menawarkan tontonan interaktif, personal, dan lebih variatif. Menurut survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) 2023, lebih dari 60% anak usia 5--12 tahun di Indonesia sudah aktif mengakses internet.
Hal ini membuat stasiun televisi merasa sia-sia berinvestasi dalam produksi konten anak, karena target penontonnya sudah banyak yang berpindah ke platform digital.
3. Minimnya Kreator Lokal yang Didukung
Produksi program anak yang berkualitas membutuhkan riset, kurikulum, dan biaya besar. Sayangnya, dukungan terhadap kreator lokal masih minim. Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar---lihat saja kesuksesan film animasi lokal Si Juki, atau serial Nussa yang mendapat apresiasi internasional. Namun, karya semacam itu lebih sering muncul di YouTube atau bioskop, bukan di televisi nasional.
Kurangnya sinergi antara pemerintah, industri televisi, dan kreator lokal membuat anak-anak kehilangan tayangan edukatif di media yang seharusnya paling mudah diakses.
4. Kurangnya Regulasi yang Tegas
KPI memang memiliki aturan tentang jam tayang anak, tetapi pengawasannya masih lemah. Banyak program hiburan umum yang justru disiarkan pada jam anak, misalnya sore hingga malam hari, padahal kontennya penuh konflik, kekerasan verbal, atau percintaan orang dewasa.
Jika regulasi lebih ketat dan ada insentif untuk produksi tayangan anak, mungkin kondisinya tidak akan separah sekarang.
Dampak yang Ditimbulkan
Sulitnya menemukan tontonan edukatif di televisi bukan sekadar soal hiburan. Ada dampak serius yang perlu diperhatikan: