Mohon tunggu...
Ardiansyah Farizi
Ardiansyah Farizi Mohon Tunggu... Buruh - Ingat Asal

Seorang pemuda yang mencoba menyulam kehidupan. Mencoba bermanfaat bagi manusia lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada Pemilu 2019, sedikit bising banyak dag dig dug-nya.

26 Februari 2019   22:50 Diperbarui: 5 April 2019   00:11 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba saja dalam akhir-akhir ini saya mulai merindukan debat masyarakat tentang bumi datar atau bumi bulat. Kaum intelktual dadakan itu sudah berhasil menancapkan sesuatu yang tak saya sadari. Saking rindunya, saya bahkan hampir tak tidur memikirkan. Ia menjelma semacam rasa pada kekasih.

Semua tumbuh seiring mulai menjemukannya dinamika menjelang hari penentuan wakil rakyat dan pemimpin negeri. Efeknya terlalu serius bagi perkembangan masyarakat +628. Ia tak lagi lucu dan unyu layaknya bayi yang dinanti untuk dicubit manja pipinya. Arenanya mulai menyeramkan, bahkan dianalogikan semacam "ladang pertempuran" yang tak bisa tidak harus dimenangkan. Ia bukan lagi arena adu gagasan dengan hasil terpilih atau tidak terpilih, kini jauh bersalin muka memakai istilah menang atau kalah.

Sensitifitas hati pendukung terlalu lembut untuk disentuh. Umpama touchscreen ponsel pintar yang selalu di genggam, mulai dari bangun tidur, makan, kumpul dengan keluarga, sampai pada ritual buang hajat pun tak dilepas. Cobalah sentuh sedikit soal sang junjungan, alamat mukamu jadi landasan cipratan yang menyertai pembelaan dari mulut mereka. Asal tahu saja, sang junjungan itu selalu sempurna. "Mas dan mbak aja yang liat dari sudut yang salah".

Ketika teman berbeda pilihan maka akan dianggap tak punya "akal sehat" yang kini mulai disertifikatkan. Atau disudut lain akan di cap pembela khilafah-khilafah itu lo. Maka muncullah gerakan unfollow pertemanan, padahal follower saja jumlahnya tak bisa dibilang banyak (kesal saya).

Padahal perbedaan itu kan sebuah keniscayaan yang dicipta Tuhan. Emang mau dunia ini monokrom, abu-abu saja ndak ada warna lain (Saya mah engga). Aneka warna ada agar kita meresapi indahnya perbedaan. Pasti Empu Tantular bingung kalau saja dia liat kita belum mampu memaknai dan mengimplementasikan kata "Bhineka" yang kemudian "tunggal ika" dalam hidup berbangsa. 

Terserahlah siapa pun nanti Presidennya, toh kita harus tetap menjaga rasa persaudaraan, rasa kemanusiaan, dan maujud dalam persatuan pada gerak kehidupan. Janganlah sampai pemilu ini menimbulkan konflik yang berakibat menyengsarakan rakyat. Bukankah, keduanya sama-sama putra terbaik bangsa yang ingin berbuat terbaik untuk negara. Iya tooo....

Ahhh, Sebelum pemilu 17 april bumi mungkin sudah berbentuk donat. Rasanya pengen cepat ke tahun 2024.. Hehe

ARDIANSYAH

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun