Mohon tunggu...
Astriana
Astriana Mohon Tunggu... Freelancer - Pengarang

Review, sastra, diktat kuliah, mental health

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Contoh cerpen akibat pandemi covid-19 "Manis"

17 Januari 2023   19:48 Diperbarui: 18 Januari 2023   20:08 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Manis

(Oleh: Ardiana)

Alarm jam 4 pagi berdering menggantikan kukuk ayam jago yang memecah kesunyian. Kabut belum tercerai berai oleh sinar matahari, udara masih sedingin sikap Irul yang semakin kesini tak ada kabar. Aku duduk, menunggu nyawa terkumpul, lalu meneguk air di botol hitam kecilku. Haaah, air itu rasanya menyebar ke paru-paru. Kalau kata buku yang kemarin ku baca masuk sampai ke bronkiolus, pokoknya segar sekali. Ku coba menyingkirkan selimut dan mengabaikan rayuan kasur yang empuk saat adzan masuk ke bilik kamarku.

Melangkah ke bilik kamar mandi, mengguyur pori-pori yang bergidik, lalu cepat-cepat mengambil wudhu. Orang rumah kadang bertanya mengapa mau sekali memotong jam tidur buat sembayang. Tapi aku selalu menjawab "cuma ini yang aku bisa" terlebih setelah lulus SMA dan lontang-lantung cari kerja, rasanya tidak ada hal lain yang menarik untuk dikenang. 

Ikut tes ke perguruan tinggi pun ditolak sekali di terima harus jalur mandiri dan biaya pendidikan membuat aku sesak napas. Pengangguran aku selama delapan belas bulan, sungkan dengan bapak dan ibuk karena masih menjadi beban. Meskipun toh orang tuaku tak pernah nggupuhi agar cepat kerja atau nikah saja biar tak jadi tanggungan.

Bulan Juli aku putuskan berangkat ke kota dengan uang dua juta lima ratus. Naik sepeda motor butut yang kugunakan pulang pergi ke sekolah, membawa satu ransel baju, dan beberapa mi instan untuk dimakan sore harinya. Iya, perjalanan dari desaku ke kota hanya sekitar empat jam saja. Serambi menunggu dapat panggilan kerja aku menetap di kost-kostan kecil yang murah..Ahh, entah kutukan apa yang jatuh kepadaku, bahkan melamar jadi kasir toko ATK pun tidak diterima. Sampai ibu kos yang bosan berhari-hari melihat aku selalu pulang seperti kertas lecek nyeletuk dengan segenap keprihatinannya, "Cari kerja sekarang emang susah, apalagi kalo gak ada orang dalem. Jualan aja, apa gitu." 

Uang tinggal dua juta, malam ke pagi aku pikir terus perkataan itu. Sampai saat bapak dan ibu menanyakan bagaimana hari pertama kerja aku cuma bisa pura-pura sinyal tidak bagus agar bisa mematikan telfon. Dadaku terhimpit tapi air mataku seperti tidak ada harganya. Bapak ibu terlanjur mengira anaknya sudah hidup cukup di kota sehinggga bisa berkirim uang sekali dua kali. Disaat seperti ini, Irul yang melanjutkan pendidikan ke Jakarta tak pernah berkabar. Pesan terakhir darinya hanya ucapan semangat yang hambar. Aku pun sungkan menghubungi Irul untuk sekedar sambat, tampak dia sangat sibuk, status whatssappnya berkutat pada screenshot rapat-rapat zoom dengan tulisan "Be productive" atau "Excited sekali ketemua kalian." Tidak ada nama "Annisa" di kehidupan barunya dan kenangan-kenangan saat SMA sudah sengaja dibuang ke laut Jawa. Cewek Jakarta lebih menarik dari gadis udik seperti aku, pastinya begitu.

Bulan Agustus, aku putuskan berjualan dengan sisa uang satu juta lima ratus hasil ngirit selama satu bulan. Lima belas hari terakhir di bulan Juli aku memikirkan barang apa yang hendak dijual. Ku ajak juga Ibu kost berdiskusi baik soal barang jualan ataupun sumber utangan buat tambah-tambah modal. Katanya, "Jual minuman saja, teh? Kalau lapar kan bisa ditahan tapi kalau haus siapa bisa? Apalagi di sekitar sini banyak anak sekolah mulai SD sampai kuliahan." Aku diam mempertimbangkan saran yang brilian itu, "Soal makanmu tidak usah dipikir dulu. Ikut aku sementara, tapi tetep kamu ganti kalau jualan sudah lancar dan banyak duit." Lanjut ibu kost berhati malaikat itu. Merasakan semangat manis yang tak ku dapat dari Irul ataupun bapak ibuku yang sudah berharap banyak membuat wajahku tambah berseri, jantungku terpacu cepat mendapat satu kesempatan di tengah keputusasaan nan mengerikan.

Di lima belas hari terakhir bulan Juli itu aku giat meracik resep teh segar yang kemungkinan disukai mahasiswa dan anak sekolahan. Dari youtube aku belajar segalanya mulai nol bukan kursus di pakar minuman atau bisnis. Lalu semuanya berjalan lancar, bocah-bocah kota itu gemar sekali membeli teh yang ku kemas di gelas polos bertutup plastik. Mereka kerap memfoto teh buatanku dan dipamerkan di media sosial. "Instagram" begitu mereka menyebutnya, saat kamera hp menyala bocah-bocah itu berceloteh dengan sesekali menanyaiku tentang banyak hal yang sebenarnya menjengkelkan dan tidak ada hubungan dengan teh. Sesekali aku ingin mengeplak kepalanya karena sangat berisik, tapi makin kesini ternyata celotehan mereka melariskan jualanku.

Dalam waktu satu bulan modalku kembali. Aku tidak perlu numpang makan pada bu kost, malah seringkali aku yang traktir dia makan. Si bungsu ini mulai berkirim sejuta pertama pada bapak dan ibu. Berani bermimpi menjadi pengusaha, "barangkali aku tidak kuliah dan ditolak kerja sana sini karena takdirku menciptakan lapangan kerja, kan keren..." kataku sambil menatap wanita manis di depan kaca setiap akan berangkat jualan. Omset waktu itu hampir sembilan ratus ribu saban hari, lebih dari cukup buatku sendiri. Aku berencana menyisihkan sebagian hasil jualan ini untuk kuliah, biar suatu saat Irul yang sok sibuk dan semena-mena melupakan aku itu menyesal dan menggulung muka ke bawah. Syukur, aku sangat bersyukur sampai setiap hari tak luput aku sembayang dan meminta kelancaran.

Namun, Juli bergulir ke Agustus. Pemberitahuan pemerintah tentang gelombang covid-19 mematikan seluruh kota. Bocah-bocah sekolah diliburkan. Para mahasiswa tidak beraktivitas langsung, kebanyakan mereka malah memutuskan untuk segera pulang. Rumah-rumah ditutup rapat, semua orang takut keluar karena di depan pintu mereka ada monster yang katanya mematikan. Dunia panik, covid-19 jadi headline besar dalam berita di youtube mapun surat kabar. Namun, saat orang lain berbondong-bondong berebut masker, handsanitizer, dan vitamin ini itu demi menjaga kesehatan mereka. Aku duduk di pojok kamar dengan air mata kering yang tidak ada harganya, "Kenapa kebahagiaanku dirampas sangat cepat?" Baru saja ku lunasi biasa tempat yang cukup luas untuk bakal berjualan. Baru juga aku beli kursi-kursi cantik biar bocah-bocah itu lebih fasih berceloteh. Kupikir daganganku bakal berkembang. Tapi, ah persetan covid itu!

Retak tulang punggungku, hancur seperti bangunan seyok yang digoyang gempa. Hari-hari yang manis kembali menjejaliku dengan getah empedu. Makin hari makin sepi pembeli. Berita covid-19 terdengar lebih menakutkan ketimbang virus Wuhan itu sendiri. Sementara pemilik kios yang tampak juga butuh diut macam aku enggan mengembalikan uang sewa seberapapun aku memohon. Bapak dan ibu sebenarnya sudah menyuruhku pulang, tapi tak sampai hati rasanya jika harus merepotkan mereka lagi. Mau tak mau si bungsu Annisa tetap berjualan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun