Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah tenaga kerja terbanyak di Asia Tenggara. Namun, kuantitas tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas, terlebih dalam hal perlindungan kerja. Maraknya kecelakaan kerja dalam beberapa tahun terakhir, seperti tragedi di PT Gunbuster Nickel Industry dan kecelakaan lift maut di Ayuterra Resort, menunjukkan fakta menyedihkan: keselamatan dan kesehatan kerja (K3) masih menjadi aspek yang diabaikan. Padahal, Indonesia telah memiliki dua regulasi penting: Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun, keberadaan regulasi tidak serta-merta menjamin keselamatan. Justru di sinilah masalah utamanya: ketidakterhubungan antar instrumen hukum dan lemahnya pengawasan membuat aturan hanya sebatas teks, bukan praktik.
K3 dan Pelatihan Kerja: Satu Tarikan Napas yang Terabaikan
Keselamatan dan kesehatan kerja tidak bisa dibangun hanya dari peralatan atau teknologi; ia lahir dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan pekerja. Artinya, pelatihan kerja adalah fondasi utama dari keberhasilan program K3. Tanpa pelatihan yang memadai, pekerja tidak akan tahu risiko kerja yang mereka hadapi, apalagi tahu bagaimana menghindarinya.
UU No. 1 Tahun 1970 Pasal 3 ayat (1) menyebut kewajiban pemberi kerja dalam memastikan fasilitas keselamatan, termasuk jalur evakuasi, peralatan pelindung diri, dan pengendalian bahaya kerja. Sementara itu, UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 86 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja. Namun, kedua undang-undang tersebut tidak secara eksplisit mengatur pelatihan kerja berbasis K3 sebagai kewajiban mutlak dengan mekanisme pengawasan yang ketat.
Akibatnya, pelatihan kerja sering dipahami semata-mata sebagai orientasi prosedural, bukan sebagai proses internalisasi budaya K3 yang berkelanjutan.
Meski secara normatif perlindungan hukum telah tersedia, realitas di lapangan sangat jauh dari harapan. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa lemahnya pelatihan kerja terkait K3 disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu Tidak adanya standar pelatihan nasional berbasis K3, Minimnya pengawasan dari negara, dan Ketimpangan perlindungan antar jenis pekerja.
Karakter perlindungan hukum ketenagakerjaan di Indonesia bersifat preventif dan represif. Artinya, negara semestinya hadir sebelum terjadi kecelakaan (preventif) dan juga setelah kecelakaan terjadi (represif). Namun, dalam praktiknya, pendekatan yang dominan justru bersifat reaktif dan lamban.
Sebagai contoh, ketika kecelakaan terjadi, negara kerap hanya hadir dalam bentuk klarifikasi media dan investigasi pasca-kejadian. Tidak ada sistem deteksi dini berbasis data pelatihan dan kepatuhan K3. Ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum lebih bersifat simbolik ketimbang substantif.
Dalam konteks negara hukum (rechtstaat), peran pemerintah tidak cukup hanya mengeluarkan regulasi. Pemerintah harus menjadi Regulator, Fasilitator, dan Pengawas dan Eksekutor.
Peran ini belum berjalan optimal. Pembinaan Dinas Tenaga Kerja sering tidak menjangkau perusahaan kecil dan menengah (UKM), padahal mereka adalah tulang punggung ekonomi nasional sekaligus tempat dengan standar K3 yang paling minim.
K3 tidak boleh lagi diperlakukan sebagai beban administratif atau hanya tanggung jawab perusahaan. Ia harus dikembalikan ke posisi semula: sebagai hak dasar pekerja, setara dengan hak atas upah dan jaminan sosial.