Mohon tunggu...
Ardalena Romantika
Ardalena Romantika Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Merupakan pribadi yang amat senang bertukar cerita, pengalaman, dan hal baru dengan semua orang dari berbagai latar belakang. Saya percaya bahwa dengan mengaktualisasikan diri melalui pertukaran dan eksplorasi ide dengan orang lain, akan tercipta ruang kebebasan berekspresi dan kesetaraan bagi setiap manusia. Jadi, mari kita saling berbagi gagasan dan berekspresi bersama!.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jamu, Minuman Raja-raja Majapahit yang Penuh Filosofi

22 Januari 2021   12:24 Diperbarui: 19 Februari 2022   11:54 1326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.kompas.com

Tiga puluh tahun lalu, seorang wanita menggendong bakul penuh botol-botol berisi segala jenis jamu. Mulai dari yang pahitnya bikin merem melek, hingga yang manis-manis sedap bikin kita ketagihan. Tangan keriputnya cekatan menyajikan gelas-gelas penuh jamu menyegarkan bagi siapapun yang berkenan.

Lima tahun kemudian, ketika wanita itu semakin menua, anak perempuannya lah yang menggantikan ibunya untuk berjualan. Ia berpikir, akan susah dan melelahkan kalau menggendong jamu kesana kemari di bawah terik mentari, belum lagi kalau tiba-tiba hujan deras mengguyur. Alamak betapa rempongnya. Anak perempuan itu lantas memanfaatkan sepeda tua yang tersandar di dinding kayu rumahnya yang mulai lapuk. Perlahan, ia mengayuh sepeda tua itu dengan berbotol-botol jamu di keranjang dan boncengan sepeda. Tanpa mengenal lelah, sepenuh hati ia menjajakan minuman leluhur itu pada siapapun yang ditemuinya.

Lima belas tahun kemudian, dunia sudah lebih maju. Orang tak lagi sabar menanti pedagang bersepeda untuk menawarinya minuman yang segar. Mereka lebih memilih pergi ke kafe dan memesan secangkir latte dengan rupiah yang pas-pasan, lantas menikmatinya sambil menanti senja. Menyadari tren tersebut, generasi si penjual jamu pun mulai memikirkan cara yang asik untuk mengajak orang-orang menikmati jamunya. Akhirnya berdirilah sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Menjadi primadona diantara resto dan kafe berisi jajanan Amerika.

Ilustrasi tersebut menunjukkan bagaimana marketing jamu berubah-ubah tiap generasinya. Dari yang masih digendong, ditaruh di boncengan sepeda, hingga dituang dalam gelas-gelas mewah di kafe instagramable. Namun sejarah dan filosofi jamu takkan pernah berubah. Mau semodern apa jamu disajikan, minuman yang diracik sepenuh hati oleh para leluhur ini akan terus menunjukkan kekhasannya sebagai warisan budaya.

Dalam prasasti Madhawapura yang merupakan peninggalan dari kerajaan adikuasa Majapahit pada abad 13 M, jamu telah menunjukkan eksistensinya. Dalam prasasti ini, disebutkan mengenai "Acaraki", profesi khusus bagi mereka yang mendedikasikan dirinya untuk meracik minuman penuh khasiat bagi para raja. Pada jaman ini, jamu diracik oleh tangan-tangan handal para acaraki, demi memberikan suguhan yang memuaskan untuk raja di tiap upacara kerajaan. Bahkan tak hanya raja, putra-putri keraton ikut menikmati minuman ini dengan harapan agar selalu bugar dan awet muda. Minuman inilah yang kita kenal sebagai jamu.

Ketika masa kejayaan Majapahit berakhir, Raden Fatah mempromosikan jamu sebagai minuman sakral bagi keraton. Tak lama setelah diperkenalkan, seni meracik jamu menjadi suatu ilmu yang dirangkum dalam buku "Kawruh Djampi". Sejak saat itulah, jamu mulai dikenal oleh masyarakat bawah.

Ada 8 jenis jamu yang diminum oleh raja-raja Majapahit. Kedelapan jenis tersebut melambangkan delapan arah mata angin dalam Wilwatikta, yang tak lain adalah lambang surya Majapahit. Bahkan untuk meminumnya pun ada urutan tersendiri. Idealnya, jamu yang pertama kali dinikmati adalah jamu manis-asam, lalu dilanjut dengan jamu pedas-hangat. Usai menikmati jamu pedas-hangat, acara minum jamu akan disambung dengan jamu bercitarasa pedas, pahit, tawar, lalu yang terakhir adalah jamu dengan rasa yang manis. Konon cara minum yang demikian ini menggambarkan siklus kehidupan manusia, loh!.

Selain itu, kedelapan jenis jamu yang menggambarkan surya Majapahit pun tak kalah menarik untuk kita ulik. Kedelapan jamu tersebut memiliki filosofinya masing-masing, yang juga tak jauh-jauh dari kehidupan manusia.

Kunyit Asam atau Kunir Asem

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun