Di kala gelap gulita malam, mulai tergantikan sinar fajar yang remang-remang .Nampak wanita berpawakan ceking itu menyeret badannya menyusuri jalanan. Sepasang terompah kusang yang mengalasi kakinya menuntunnya terus berjalan meski hawa dingin pagi menusuk dengan tajam. Yah..mungkin impianlah yang membulatkan tekat si paruh baya itu. Jalannya kini sudah terhenti di bawah pohon kelengkeng salah satu sudut pasar minggu. Iapun dengan urat-urat tua yang ia miliki mulai menggeletakkan tubuhnya di atas gelaran goni yang sejak tadi sudah menjadi buah tangan dari gubuk reotnya.
Surya yang silih detik mulai naik menambah kobaran tersendiri di dada sang pejuang pagi. Kini gadis sepuh itu mulai mengulurkan tangan dengan mangkok kecil menumpang di atas telapaknya. Harapan ia panjatkan dalam lubuk hati, sudilah orang  melemparkan satu saja uang logam kedalam wadah ditanganya itu "seikhlasnya saja pak... bu...." teriaknya tanpa ada rasa malu atupun gengsi, sebab hanya itulah modal yang ia miliki. Dia terus menasbihkan kalimat iba tersebut berkali- kali dari pagi hingga sang mentari berterik di atas kepala. Pasar minggu yang semakin sumpek saja, membuatnya terus kegirangan hingga bibir keriputnya itu mulai menampakkan senyum tipis. Uang receh yang ia nantikan mulai memenuhi mangkuknya. Merasa uang yang ia miliki sudah cukup, kini langkahnya beralih menuju toko obat di seberang pasar.
Bibirnya menampakkan lagi senyum yang lebar. sekantung obat untuk belahan jiwa kini telah berada pada genggaman sang nenek tua yang tidak diketahui namanya. Langsung saja iapun bergegas pulang dengan rasa lega walau jarak yang ia tempuh cukup jauh dari pasar itu. Tiba-tiba, entah mengapa benaknya mulai gelisah. Pria renta yang biasa menyambutnya dengan senyuman basah saat ia mendorong daun pintu dari anyaman bambu,  kini hanya terbaring dengan mata tertutup. "Apakah ia tertidur?" batinnya seraya berbaik sangka. Iapun berusaha membangunkan dengan perlahan. Tetapi, sang suami tak kunjung membuka matanya. Hingga sampai goncangan yang cukup besar ia berikan walau dengan tulang hasta tipis yang ia miliki. Lagi dan lagi, tetap saja tak ada gerakan yang cukup memastikan. Menambah gelagat tak mengenakkan. Air mata gadis tua itu mulai menetes kala ia sadar dihadapkan pada sosok tanpa nyawa. Tangisannya pun mulai mengguntur. Sang suami  masih saja tetap terbujur. Kini, wanita pasar minggu itu harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus hidup tanpa seorang pasangan. Sungguh nestapa.
Dibuat di Malang, 2 Juli 2020
Disunting 3 Sep 2020