Mohon tunggu...
Dr Akhmad Aflaha SE MM
Dr Akhmad Aflaha SE MM Mohon Tunggu... Dosen

Akademisi, penulis, dan praktisi pendidikan yang dikenal melalui karya-karyanya di bidang pengembangan karakter, manajemen strategik, dan pemberdayaan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nadran Gunungjati: Menghidupkan Kembali Tradisi, Menyatukan Kembali Warga Pesisir

12 Agustus 2025   07:12 Diperbarui: 12 Agustus 2025   07:10 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto sedekah bumi nadran Astana gunungjati (foto Facebook) 

Sudah lima tahun berlalu sejak masyarakat pesisir Cirebon terakhir kali merasakan kemeriahan Nadran Gunungjati. Tradisi yang biasanya menghadirkan arak-arakan, sedekah bumi, dan sedekah laut ini terhenti---bukan karena kehilangan makna, melainkan karena situasi yang membatasi pertemuan masyarakat dan kekhawatiran akan keamanan.

Kini, jeda panjang itu meninggalkan kerinduan. Bagi banyak warga, Nadran bukan sekadar pesta budaya, tapi juga momen berkumpulnya keluarga besar pesisir, ajang silaturahmi lintas desa, dan simbol syukur kepada Allah atas limpahan hasil bumi dan laut.

Lebih dari Sekadar Pesta

Nadran berasal dari kata Arab nadzar, yang berarti janji atau syukur. Dalam konteks masyarakat Gunungjati, ia adalah janji bersama untuk mengingat asal-usul, menghormati leluhur, dan menjaga hubungan antarwarga.

Tiga unsur utama Nadran adalah:

1. Sedekah Bumi -- ziarah leluhur, doa bersama, dan berbagi makanan.

2. Sedekah Laut -- doa di tepi pantai Muara Jati, tanpa larung kepala kerbau, menonjolkan nilai religius.

3. Arak-arakan -- pawai karya kreatif seperti ogoh-ogoh, paksi naga liman, dan burok.

Dulu, arak-arakan menjadi wadah kreativitas sekaligus perekat solidaritas. Namun di beberapa tahun terakhir sebelum vakum, kompetisi antar desa kadang memicu gesekan. Di sinilah kita belajar: nilai budaya harus tetap memimpin semangat acara, bukan ego kelompok.

Ketika Tradisi Vakum

Lima tahun tanpa Nadran membawa dampak yang tak terlihat kasat mata:

Warga jarang bertemu dalam suasana penuh kegembiraan.

Anak-anak tidak lagi menyaksikan langsung proses pembuatan karya arak-arakan.

UMKM lokal kehilangan salah satu puncak perputaran ekonomi tahunan.

Ikatan emosional antar desa mulai renggang.

Padahal, Nadran selalu punya potensi sebagai jembatan perdamaian. Nilai gotong royong, religiusitas, dan penghormatan sejarah seharusnya bisa meredam konflik, bukan memicunya.

Saatnya Bangkit Kembali

Menghidupkan kembali Nadran setelah jeda panjang ini bukan hanya soal melanjutkan tradisi. Ini adalah langkah strategis untuk memulihkan kohesi sosial. Kita bisa memulainya dengan:

1. Arak-arakan Kolaboratif -- karya kreatif dibuat bersama oleh desa-desa yang dulu bersaing.

2. Pengamanan Preventif -- jalur pawai diatur, titik rawan gesekan diawasi bersama oleh aparat dan tokoh adat.

3. Edukasi Nilai Budaya -- sekolah dan balai desa mengadakan kelas sejarah Nadran.

4. Dukungan Ekonomi Lokal -- pasar rakyat dan bazar UMKM sebagai bagian dari acara.

Ajakan untuk Semua Pihak

Pemerintah desa, tokoh adat, aparat keamanan, pemuda, dan seluruh warga perlu duduk bersama membentuk Panitia Bersama Nadran. Mari jadikan pelaksanaan perdana pasca-vakum ini sebagai momentum damai, sekaligus promosi budaya Cirebon ke panggung yang lebih luas.

Nadran Gunungjati bukan sekadar warisan, tapi identitas. Menghidupkannya kembali berarti menyalakan kembali semangat kebersamaan yang sudah lama kita rindukan.

Karena pada akhirnya, sebuah tradisi hanya akan terus hidup jika kita memilih untuk menjaganya---dan merayakannya---bersama-sama.

Kalau Anda setuju bahwa Nadran harus kembali, mari kita mulai pembicaraan ini dari sekarang. Bagikan cerita, dukungan, dan ide Anda.

Nadran adalah kita. Kita adalah Nadran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun