Sudah lima tahun berlalu sejak masyarakat pesisir Cirebon terakhir kali merasakan kemeriahan Nadran Gunungjati. Tradisi yang biasanya menghadirkan arak-arakan, sedekah bumi, dan sedekah laut ini terhenti---bukan karena kehilangan makna, melainkan karena situasi yang membatasi pertemuan masyarakat dan kekhawatiran akan keamanan.
Kini, jeda panjang itu meninggalkan kerinduan. Bagi banyak warga, Nadran bukan sekadar pesta budaya, tapi juga momen berkumpulnya keluarga besar pesisir, ajang silaturahmi lintas desa, dan simbol syukur kepada Allah atas limpahan hasil bumi dan laut.
Lebih dari Sekadar Pesta
Nadran berasal dari kata Arab nadzar, yang berarti janji atau syukur. Dalam konteks masyarakat Gunungjati, ia adalah janji bersama untuk mengingat asal-usul, menghormati leluhur, dan menjaga hubungan antarwarga.
Tiga unsur utama Nadran adalah:
1. Sedekah Bumi -- ziarah leluhur, doa bersama, dan berbagi makanan.
2. Sedekah Laut -- doa di tepi pantai Muara Jati, tanpa larung kepala kerbau, menonjolkan nilai religius.
3. Arak-arakan -- pawai karya kreatif seperti ogoh-ogoh, paksi naga liman, dan burok.
Dulu, arak-arakan menjadi wadah kreativitas sekaligus perekat solidaritas. Namun di beberapa tahun terakhir sebelum vakum, kompetisi antar desa kadang memicu gesekan. Di sinilah kita belajar: nilai budaya harus tetap memimpin semangat acara, bukan ego kelompok.
Ketika Tradisi Vakum