Tahun ajaran 2025 di Kabupaten Cirebon membuka fakta yang sunyi namun penting: dari 80 SMP Negeri yang tersedia, hanya 34 sekolah yang berhasil memenuhi kuota siswa baru. Sisanya, 46 sekolah, menyisakan 1.673 kursi kosong. Sementara di sisi lain, beberapa sekolah “favorit” justru kelebihan pendaftar.
Fenomena ini mencerminkan kegagalan sistem dalam mendistribusikan peserta didik secara merata, sekaligus memperlihatkan betapa kebijakan zonasi yang seharusnya menjadi instrumen keadilan, justru bisa memunculkan ketimpangan baru jika tidak dikelola secara adaptif.
Kebijakan zonasi yang diluncurkan sejak 2018 melalui Permendikbud Nomor 14 bertujuan mulia: menghapus dikotomi sekolah unggulan dan non-unggulan, dan memastikan anak-anak bersekolah di lingkungan terdekat. Namun, pelaksanaan teknisnya sering kali tidak mempertimbangkan konteks lokal, geografi wilayah, persebaran penduduk, hingga persepsi sosial masyarakat terhadap mutu sekolah.
Ketimpangan Struktural
Dalam riset kualitatif yang saya lakukan di enam SMP Negeri di Cirebon—tiga penuh pendaftar, tiga sisanya kekurangan siswa—terungkap lima faktor dominan penyebab ketimpangan:
Persepsi masyarakat terhadap mutu sekolah yang menyebabkan konsentrasi pendaftar hanya di beberapa sekolah tertentu;
Lokasi geografis dan akses transportasi yang menyulitkan siswa untuk menjangkau sekolah-sekolah di wilayah pinggiran;
Kesenjangan demografis antar kecamatan, di mana beberapa wilayah kekurangan lulusan SD;
Minimnya strategi promosi dan eksistensi digital dari sekolah-sekolah yang kurang diminati;
Zonasi yang tidak fleksibel, berbasis administratif dan bukan spasial.
Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada jumlah siswa, tetapi juga kualitas layanan pendidikan. Sekolah yang kekurangan siswa mengalami hambatan pembentukan rombongan belajar, keterbatasan anggaran BOS, hingga rendahnya partisipasi dalam kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler. Sebaliknya, sekolah yang kelebihan siswa menghadapi tantangan beban kerja guru, keterbatasan ruang belajar, dan potensi degradasi mutu pengajaran.
Reproduksi Ketidakadilan
Kondisi ini, jika dibiarkan, dapat mengarah pada reproduksi ketidakadilan pendidikan secara struktural. Sekolah-sekolah yang terus-menerus kekurangan siswa akan makin sulit meningkatkan daya saing dan kepercayaan publik, sementara sekolah yang “difavoritkan” akan menjadi semacam enclave pendidikan yang sulit diakses warga umum tanpa strategi manipulasi zonasi.
Dalam perspektif teori modal sosial Pierre Bourdieu, sekolah menjadi arena distribusi kapital budaya dan sosial. Ketika akses terhadap sekolah bermutu hanya terbuka bagi kelompok tertentu, maka sistem pendidikan justru memperlebar jurang ketimpangan sosial antargenerasi.
Rekomendasi Kebijakan
Fenomena kursi kosong ini harus menjadi alarm serius bagi pemerintah daerah dan pusat. Evaluasi zonasi tidak bisa hanya dilakukan secara prosedural, tetapi mesti menyentuh aspek struktural yang lebih dalam.
Saya mengajukan beberapa rekomendasi sebagai refleksi dan jalan keluar:
Rekonstruksi sistem zonasi berbasis spasial dengan dukungan teknologi Geographic Information System (GIS), yang mempertimbangkan jarak tempuh nyata, jalur transportasi, dan sebaran penduduk usia sekolah.
Pemberian insentif afirmatif bagi sekolah yang kekurangan siswa, dalam bentuk peningkatan fasilitas, pelatihan guru, serta bantuan promosi digital.
Pembangunan sistem informasi PPDB yang transparan dan partisipatif, dengan keterlibatan aktif orang tua, sekolah, dan pemerintah desa/kelurahan.
Sinergi lintas sektor, antara pendidikan, perhubungan, perencanaan wilayah, dan perangkat daerah dalam memastikan konektivitas dan persebaran sekolah sesuai kebutuhan.
Monitoring tahunan terhadap keterisian sekolah dan dampaknya terhadap mutu pendidikan, agar kebijakan tidak stagnan dan tetap adaptif.
Penutup
Kursi kosong di sekolah negeri bukan sekadar data statistik. Ia adalah cermin dari ketimpangan yang tak tampak: tentang siapa yang bisa mengakses pendidikan bermutu, dan siapa yang tercecer dalam sistem yang tak berpihak.
Jika negara sungguh ingin menghadirkan keadilan melalui pendidikan, maka kebijakan zonasi harus terus diperbaiki dengan berbasis data, realitas sosial, dan aspirasi warga.
Karena sejatinya, pendidikan adalah hak—bukan perlombaan, bukan pula seleksi tersembunyi yang memihak mereka yang sudah lebih kuat sejak awal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI