Mohon tunggu...
Abah Iqbal
Abah Iqbal Mohon Tunggu... -

Lahir di Jakarta, tepat tatkala mentari berkalang rembulan. Bergelar Abah bukan karena ahli agama atau orang alim, melainkan menjadi doa agar segera berkeluarga. Pakai Peci karena atribut nasional. Berkalung sorban bukan karena perempuan, melainkan takut masuk angin. Hanya seorang sontoloyo (mencari kewarasan dalam kesintingan). Menulis dalam rangka menenangkan "the beast" di dalam "suksma", "menggugah", sekaligus mengingatkan diri sendiri. Terkadang butuh dihina agar dapat selalu ingat dan waspada untuk merendahkan hati kepada sesama dan merendahkan diri kepada Yang Maha..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Relativitas Kebenaran

30 Oktober 2009   10:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29 1890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernahkah ketika anda menyeberang jalan secara perlahan dan sebuah mobil yang berhenti menunggu anda menyeberang mengklakson anda agar berjalan lebih cepat lagi? Mungkin anda akan menggerutu,"Sialan, tidak sabaran banget sih ini orang?". Namun pernahkah bila keadaan tersebut terbalik, dimana anda menjadi pengemudi mobil yang menunggu si penyeberang jalan perlahan? Tentu anda akan menggerutu sambil membunyikan klakson, "Kurang ajar bener ini orang? Udah dikasih nyebrang, jalannya malah pelan-pelan!!" Sepenggal contoh di atas mengilustrasikan bahwa kebenaran itu berkonteks, selalu dilihat dari kacamata kepentingan masing-masing individu atau kelompok dalam menyikapi keadaan tersebut. Pada era dagelan politik di bumi nusantara Indonesia saat ini, semakin terlihat jelas kontekstual dari suatu kebenaran. Kelompok yang satu membenarkan apa yang mereka lakukan dan menyalahkan apa yang dilakukan kelompok lain. Dan semua dengan mengusung jargon-jargon yang mengatasnamakan rakyat. Ironisnya dari tingkah laku politisi ini, aktualisasi versi kebenaran mereka adalah mengeksploitasi obyek kebenaran mereka ("rakyat"), demi kepentingan memperkaya diri mereka yang rata-rata sudah cukup kaya dan demi rasa bangga atas diri sendiri sebagai perwakilan Tuhan (ingat istilah Vox Populis Vox Dei?). Yang paling menyedihkan adalah kebenaran versi penganut-penganut agama. Padahal, demi menyembah Sang Kausa Prima yang sama, namun karena merasa "cara" masing-masing yang paling benar, pembelaan kebenaran "cara" tersebut sering terwujud dalam bentuk kekerasan dan simbahan darah. Padahal, apakah si Pulan meminta lahir dan dibesarkan di keluarga yang beragama A dan si John Doe lahir dan dibesarkan dalam agama B? Yang patut dicermati dalam pembenaran versi ini adalah kepentingan yang melandasinya. Di masa Roman Katolik sebelum munculnya reformasi oleh Martin Luther, cukup gamblang pembelaan kebenaran "cara" adalah demi memupuk kekayaan di kalangan gereja. Semakin banyak penganut, semakin tebal pundi-pundi gereja dari "upeti" untuk penghapusan dosa. Pertanyaannya, masihkah kepentingan materi menjadi motif pembelaan kebenaran "cara" dalam kehidupan beragama saat ini? Silakan para pemuka agama yang sempat membaca tulisan ini menjawab dengan jujur di hati masing-masing. Dalam skala kecil kehidupan rumah tangga, seringkali suami dan istri berargumentasi siapa yang paling benar dalam mendidik dan merawat anak. Kalaulah berebut kebenaran akan hal itu didasarkan atas kepentingan anak, itu bisa dimaklumi. Namun terkadang perebutan itu lebih didasarkan kepada pameo "agar menjadi anak yang membanggakan orang tua", bukan demi kebaikan si anak. Padahal, jangan paksakan pohon mangga berbuah rambutan, namun jadikanlah setiap pohon mangga menghasilkan buah mangga yang manis (Engku Syafei). Lalu, dimanakah kebenaran sejati berada? Tatkala anda mampu melupakan siapa diri anda, melupakan segala kepentingan, hasrat dan kehendak, maka disitulah kebenaran sejati akan mawujud. Segala ucapan dan perilaku anda adalah kebenaran.. karena anda telah menyatu padu dengan alam.. yang bergerak melantunkan melodi kehidupan tanpa pamrih apapun. Saya teringat sebuah kisah Sakyamuni (Budha) dan pengikut-pengikutnya. Di suatu pagi yang cerah, Sakyamuni dikelilingi murid-muridnya yang ingin mendengarkan khidmat kehidupan seperti biasanya. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah intan yang amat besar dan meletakkan di atas telapak tangannya, di bawah pancaran sinar mentari. Kemudian ia menanyakan satu-persatu muridnya akan warna apa yang mereka liat keluar dari intan tersebut. Masing-masing muridnya menyebutkan warna yang berbeda-beda (biasan sinar mentari dari intan akan mengeluarkan warna berbeda-beda, tergantung dari sisi mana seseorang melihatnya; hal ini mengilustrasikan relativitas kebenaran, yang tergantung dari sudut mana seseorang melihat suatu keadaan). Setelah itu, Sakyamuni memasukkan intan tersebut ke sakunya dan mengangkat tangannya yang kosong ke atas. Lalu ia menanyakan kembali kepada murid-muridnya,"Apa yang kalian lihat sekarang di atas telapak tanganku?". Murid-muridnya menjawab bahwa mereka tidak melihat apapun. Budha tersenyum dan berkata,"Padahal aku baru saja memperlihatkan intan yang terbesar di muka bumi ini.. memang pencerahan tidak mudah untuk diajarkan.." By: Muhammad Iqbal Medio April 2009 Lebak Bulus

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun