Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Punya Anak Berkebutuhan Khusus, Siapkah?

2 Januari 2020   16:03 Diperbarui: 2 Januari 2020   19:55 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak berkebutuhan khusus (pic: bernas.id)

"To be honest, aku kayaknya lebih siap kalau enggak dikasih anak ketimbang anaknya 'istimewa'," kata Mas Pacar suatu hari.

"Tapi ya..., kalau memang sampai dipercaya Tuhan, berarti DIA bakal provide semuanya..." 

Selain banyak ngobrolin hal "remeh" macam cuaca atau perkembangan dunia jejepangan dan KPop, saya dan Mas lumayan sering juga terlibat diskusi serius dan bikin "mikir". Salah satunya tentang anak berkebutuhan khusus tempo hari itu. 

Namun beda dengan dia, saya merasa jauh lebih siap jika dianugerahi anak berkebutuhan khusus. Ini cukup mengejutkan sebetulnya, bahkan untuk diri saya sendiri.

Lha wong untuk lanjut ke jenjang pernikahan saja sampai detik ini saya benar-benar masih mikir sejuta kali, ini kok malah merasa diri malah lebih siap kalau dikasih anak istimewa. Aneh!

Setelah melakukan serangkaian investigasi, semedi, plus mandi kembang tujuh hari tujuh malam, saya akhirnya tahu kenapa bisa sampai di titik "sesiap" itu. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena peran para strong mommy yang saya kenal baik di dunia nyata maupun maya. 


Ya. Dalam circle pertemanan selama ini, rupanya saya punya cukup banyak sahabat, rekan, dan kenalan para orangtua yang anak-anaknya berkebutuhan khusus. 

Kondisi kebutuhan khususnya bermacam-macam, mulai dari yang sudah saya kenali sejak kecil macam tuna netra-rungu-daksa-wicara, sampai sindrom-sindrom langka yang terus terang baru saya dengar namanya pertama kali, kayak William atau Pierre Robin Syndrome.

Selain itu, ada pula yang berjuang dengan autisme maupun yang punya kelainan atau penyakit-penyakit berat seperti kanker dan kelainan darah yang perlu treatment seumur hidup model thalasemia atau hemofilia. 

Latar belakang para ibu dengan anak istimewa ini begitu beragam. Dari yang keturunan "sultan" sampai rakyat jelata. Dari yang kondisi ekonominya berlimpah sampai yang benar-benar hanya mengandalkan bantuan pemerintah dan uluran tangan dermawan. Dari yang berpendidikan tinggi sampai yang biasa-biasa saja. 

Ini membuat saya sadar, bahwa kondisi tersebut bisa dialami oleh siapa saja, termasuk mungkin saya kelak. Tentu saja saya tidak mengharapkan hal itu terjadi, lha mengendalikan monster mental illness dalam diri sendiri saja masih megap-megap kok. Tidak terbayang betapa ribetnya jika harus ditambah dengan sesuatu yang ekstra. 

Namun berkat teman-teman saya ini, berkat para ibu luar biasa ini, setidaknya saya tak lagi menganggap anak berkebutuhan khusus sebagai momok menakutkan yang segitunya harus dihindari apalagi (amit amit) sampai dibuang. 

Saya tidak bisa menakar masa depan. Mungkin jika betulan dikasih anak berkebutuhan khusus ya tidak menjamin juga sih saya bakal segitu kuat dan siapnya. Pasti bakal down juga sih. Kayaknya.

 Tapi setidaknya, di titik sekarang ini saya benar-benar mampu berpikir "Aku tidak mengharapkan itu terjadi, namun jika memang Tuhan mengizinkan aku punya anak demikian, maka jawabannya cuma satu: Hidupku terlalu membosankan. Tuhan ingin saya punya sesuatu yang berbeda dan istimewa untuk kurawat dan kukasihi sedemikian rupa."

***

Jika ada para orangtua, khususnya ibu yang tidak sengaja membaca tulisan ini, saya secara khusus ingin berterima kasih. Terima kasih telah menjadi ibu yang luar biasa kuat dan tegar untuk anak-anakmu. 

Saya tahu, pada prosesnya tentu tak semudah itu. Ada banyak frustrasi juga air mata tentunya. Belum lagi kalau sudah harus menghadapi penghakiman dari orang-orang terdekat atau nyinyiran mereka yang tak tahu apa-apa. (Peluk emak).

Khusus untuk para ibu luar biasa yang berada di circle pertemanan saya, terima kasih juga untuk tidak bosan berbagi dan mengedukasi. Orang awam seperti saya jadi banyak sekali belajar dan mulai berpikir serius untuk ambil langkah preventif.

Meski ada kondisi-kondisi yang mungkin memang merupakan takdir Tuhan dan tak berhak diotak-atik manusia, beberapa kondisi lain rupanya masih sangat mungkin dihindari atau bahkan diantisipasi.

Termasuk dengan program perencanaan kehamilan yang matang dan pemeriksaan kesehatan ini itu sebelum mantap memutuskan having baby. Ah, ya, kesepakatan dan peran kesiapan pasangan juga sangat penting lho. 

Dan untuk pembaca yang kebetulan tidak diberi kepercayaan Tuhan untuk punya anak istimewa tersebut, yuk belajar untuk lebih ramah kepada para ibu ini. Kurang-kurangilah nyinyir plus julid. Apalagi sampai ngata-ngatain plus menyalahkan. 

Percayalah, para ibu ini untuk menerima kenyataan saja pasti butuh proses yang tidak mudah. Apalagi menjalaninya tahun demi tahun. Jadi please, nggak usahlah nambahin beban mereka dengan ngomong yang nggak-nggak. 

Hayo, siapa yang di mulut mungkin diam saja tapi masih suka ngerasani, "Dosa apa sih itu mereka sampai dikasih anak model itu?"

Udah. Stop. Buang jauh-jauh pikiran jelek macam itu. Kalau memang belum sanggup jadi bagian masyarakat yang mendukung, maka cukuplah diam. Nggak usah nyinyir. Jangan sampai ucapanmu berbalik ke diri sendiri lho ya.

Sekian dulu tulisan perdana di tahun baru. 

Semoga kita semua makin diberkati dan dimampukan untuk jadi manusia yang lebih baik lagi. Amin. 

Salam dari Tepian Musi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun