Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kado Terindah] Maaf dari Surga

13 Oktober 2019   17:06 Diperbarui: 31 Oktober 2019   06:42 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest/Banarjeeanjana21

P

Rafa mendadak ingin membanting smartphone di atas meja begitu sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke WhatsApp miliknya. Siapa makhluk kurang kerjaan yang memulai tren huruf P untuk mengawali pesan alih-alih mengetikkan salam seperti ini? Siapa pula pengirimnya dan dari mana dia tahu nomor HP pribadinya? 

Belum sempat Rafa membalas, sebuah pesan susulan muncul di layar.

Selamat siang, Kak Rafa. Ini Aya.

Pesan itu belum selesai. Di bagian kiri atas layar, ada informasi jika pengirimnya sedang mengetik sesuatu. 

Sembari menunggu, kening Rafa berkerut. 

Pemuda berkacamata itu lalu otomatis membongkar lemari arsip kumpulan nama dalam otaknya. Aya siapa pula ini? 

 Salah satu klien kah? Atau teman kuliahnya dulu barangkali? 

Namun sekeras apapun pemuda yang nyaris kepala tiga itu berpikir, tak satu Aya pun yang mampu diingatnya. Kecuali ... tidak mungkin! 

Pulang lah, Kak. Ibu meninggal.

***

Tiga bulan sebelumnya ...

Seorang gadis SMA dengan nama akun Cayla Wijaya mengirimi Rafa sebuah pesan di facebook messanger. Dia memperkenalkan diri sebagai Aya, adik Rafa yang tinggal di sebuah kota kecil di tepian rimba Sumatera. Gadis itu mengaku hanya iseng mengetik nama lengkap Rafa di kolom pencarian dan berharap bahwa cowok itu  adalah benar kakaknya yang sudah lama hilang.

Susah payah Rafa menggali memori yang telah dikuburnya rapat selama hampir 15 tahun. Sejak semua itu terjadi, Rafa tak pernah lagi menengok ke belakang. Segala yang dari masa lalu terlalu pedih untuk diingat. Terlalu pilu untuk dikenang.

Meski demikian, sekeping kenangan menyeruak begitu saja tanpa mampu Rafa cegah. Rafa ingat Aya, meski saat itu dia masih bayi mungil yang hanya bisa menangis. Aya adalah adiknya beda ayah. Aya lahir dari pernikahan kedua ibu. Ayah Rafa sendiri sudah lama meninggal sejak cowok itu masih dalam kandungan.

Saat terakhir kali Rafa melihatnya di hari dia kabur dari rumah waktu itu, Aya kira-kira berumur tiga atau empat tahun. Dan lihatlah dia sekarang, dia sudah tumbuh sebesar itu. Setidaknya sudah 18 tahun umurnya.

Rafa memandangi foto gadis manis yang tampak supel dan ceria dalam balutan seragam sekolah itu dengan kerinduan. Wajah Aya jelas berubah dalam belasan tahun, namun tahi lalat di bawah mata kanan itu masih sama persis dengan yang diingat Rafa.

Rafa lalu memberikan nomor HPnya yang khusus dipakai urusan personal pada Aya. "Aya boleh hubungi kakak kapan saja.  Tapi Aya harus janji dulu, tidak akan bilang apa-apa soal kakak ke keluarga di sana, terutama ibu. Kalau sampai ada yang tahu, kakak bersumpah tidak akan mau kenal Aya lagi."

Aya meng-iya-kan saat itu. Namun Aya tak pernah menghubungi Rafa lagi. Satu kali pun tidak. Hingga tiga bulan kemudian, gadis itu memberi kabar ibu mereka telah berpulang.

***

Andai proses menemukan Tuhan semudah menemukan alamat rumah lama, mungkin hidup tak perlu senelangsa ini, batin Rafa jemu. Meski yang tersisa darinya hanyalah badan yang minta rebah dan mata yang butuh ranjang setelah belasan jam perjalanan, cowok itu tetap tak bisa menahan takjub kala menatap sebuah rumah bercat kuning gading dari kejauhan. 

Menempuh total 2 jam penerbangan dari Surabaya di tambah 10 jam perjalanan darat dan hanya mengandalkan ingatan samar dirinya yang masih 14 tahun kala itu, Rafa toh sampai juga ke kota kelahirannya. 

Kota itu jelas berubah dalam 15 tahun terakhir. Menjadi lebih ramai, lebih teratur. Namun tidak dengan bangunan kuning gading yang dulu adalah rumahnya itu. Kecuali sekarang sudah dipagari dan pohon mangga golek di halamannya sudah sangat tinggi, nyaris tak ada perubahan berarti. Rumah itu masih sama dengan yang ditempati Rafa dulu.

Rafa tak tahu kekuatan mahadahsyat macam apa yang akhirnya menggerakkan hatinya untuk pulang. Padahal selama ini dia pikir sudah melempar semua bilah kelam masa lalunya ke lubang hitam. Tapi toh dia kembali juga, di hari kesebelas setelah ibunya wafat. 

Rafa yang mendadak meragu malah sudah hendak berbalik pergi ketika seorang gadis dengan rambut ikal sebahu dan bertahi lalat di bawah mata kanan itu menyongsongnya. Aya. 

Waktu seolah membeku sejenak di dunia Rafa. Dia tidak ingat kapan terakhir kali seseorang memeluknya demikian erat seperti ini. Canggung, cowok itu mengusap-usap punggung Aya yang kini bergetar oleh tangis. 

Ah, Aya betul-betul sudah besar. Tingginya nyaris sama dengan Rafa, itu berarti tinggi badan Aya akan melampaui kakaknya suatu saat nanti. Bagus, Aya. Itu artinya kau tumbuh besar dengan baik dan terawat. Jangan ikuti jejak kelam kakakmu ini ya.

"Maaf, baru sempat datang hari ini ...," kata Rafa setelah keduanya duduk di sofa ruang tamu. Cowok itu kentara benar tengah gugup dan gelisah. Buku-buku jarinya tak henti dimainkan dari tadi. 

Aya buru-buru menggeleng. "Nggak papa kok. Aku ngerti kalau Kak Rafa nggak mau ketemu sama keluarga yang lain, jadinya nunggu sampai rumah sepi dari pelayat, kan?" 

Rafa mengangguk. Ekor katanya lalu bergerak ke setiap sudut rumah, mencari-cari keberadaan seseorang yang mungkin dia rindukan. . 

"Uumm ... Aya..."

"Ya?"

"Kok sepi sekali ya? A-ayah mana?"

Raut wajah Aya seketika berubah. Dia menatap Rafa keheranan. "Lho, Kak Rafa nggak tahu? Sejak kakak pergi dari rumah, ayah juga nggak pernah pulang lagi ... aku sama ibu cuma tinggal berdua selama ini."

Rafa terkesiap. Informasi ini jelas mengejutkannya. Dia tidak pernah tahu, atau lebih tepatnya tak pernah peduli untuk mencari tahu. Rafa pikir hidupnya sudah yang paling menderita. Kabur tanpa arah, hidup terlunta-lunta di jalanan bertahun-tahun. Pindah dari kota satu ke kota lainnya, sebelum akhirnya diselamatkan oleh pasangan lansia baik hati asal Kota Pahlawan yang kemudian merawat Rafa seperti cucu sendiri. 

Namun kini dia sadar. Ibu dan adiknya telah hidup sama menderita dalam kesepian. Rafa bukannya tidak tahu upaya ibu dalam mencarinya. Rafa malah sempat kucing-kucingan dengan orang-orang suruhan ibu yang berniat memaksanya pulang.

Namun Rafa bergeming. Tetap pada keputusannya mengubur masa lalu dan melupakan segalanya, termasuk orang-orang yang paling dicintainya. 

"Kak ..." 

"Ya?"

Aya menatap Rafa dalam-dalam. Sorotnya tenang, namun menuntut. "Sebetulnya ... apa yang terjadi, Kak? Aya masih terlalu kecil saat itu, Aya nggak ingat kenapa kakak pergi, juga ayah. Dan ibu ... sampai nafas terakhirnya tetap menolak memberi tahu Aya apa pun."

Rafa mematung. Pertanyaan Aya seperti membawanya ke ruang sidang di mana ia duduk sebagai pesakitan, menanti diadili.

Aya, wajarlah ibu tak memberi tahu. Asal tahu saja, kakakmu ini adalah manusia paling terkutuk di muka bumi ini. Saat dia mati kelak, neraka pun akan enggan menerima jiwanya ... 

Namun Rafa menyimpan jawaban itu dalam hati saja. "Bisa antar kakak ke makam ibu sekarang?" dia mengalihkan pembicaraan.

Meski kecewa tak mendapat jawaban, Aya tak sampai hati menolak keinginan Rafa.  "Bisa. Tapi tunggu sebentar ya, Kak. Aku ambil kerudung dulu ..."

***

Bunga tabur di atas gundukan tanah itu mulai mengering dan berubah warna. Meski begitu tanahnya yang kemerahan masih tampak basah. Makam ibu berada tepat di bawah batang frangipani yang kini berbunga lebat.

Rafa bersimpuh di dekat nisan kayu setelah sebelumnya meletakkan setangkai mawar merah segar di sana. Aya yang tadi memetiknya dari halaman samping.

Rafa diam, sibuk menyelami hati dan pikirannya sendiri. Seperti apa perasaannya setelah tahu jasad ibunya kini tertanam di dalam sana?

Sedihkah ia?

Rafa tidak tahu. Tak setetes pun air matanya pernah jatuh lagi sejak belasan tahun lalu. 

Kehilangan kah ia?

Rafa sama tak tahunya. Dia sudah terlalu biasa dalam hal tak memiliki apa-apa, termasuk sanak saudara. Jadi kematian ibu rasanya tak akan terlalu banyak bedanya.

Menyesalkah ia? 

Lagi-lagi Rafa tak tahu. Jika memang harus ada pihak yang menyesal, maka orang itu sepatutnya adalah ibu seorang karena telah melahirkan binatang seperti dirinya. Manusia tidak akan pernah berbuat seperti apa yang dilakukannya di masa lalu. 

"Kak..."

Sebuah sentuhan lembut di pundak membawa Rafa kembali ke realita. Aya mengulurkan selembar amplop yang masih tertutup rapat. "Waktu masih sehat, ibu pernah pesan harus kasihkan ini ke Kak Rafa. Kakak baca ya?"

Rafa menerimanya. Aya meskipun sangat penasaran rupanya cukup tahu diri. Gadis itu melangkah menuju gerbang makam agar kakaknya leluasa membaca surat itu tanpa gangguan.

Rafa membuka amplop dan mengeluakan kertas di dalamnya hati-hati. Sebuah surat. Dilihat dari jenis kertas dan luberan tintanya, sepertinya surat itu sudah cukup lama ditulis. Isinya singkat saja.

Rafandha Wijaya, anakku.

Dosa adalah sesuatu yang harus kaubereskan sendiri dengan Tuhanmu.

Namun memaafkanmu adalah kewajiban ibu sebagai manusia sekaligus orang tuamu.

Saat kamu membaca ini, ketahuilah, Nak.

Atas semua yang terjadi, Ibu telah lama memaafkanmu. 

Dan runtuh sudah benteng pertahanan Rafa. Untuk pertama kalinya dalam belasan tahun, dia akhirnya menyerah pada air mata. Berawal dari satu tetes yang tak mampu ditahannya, kini serupa bendungan jebol. Berawal dari sebuah isak kecil, kini sudah diikuti raungan histeris bak orang kesurupan.

"Ibu ... ibu ..." 

Hanya kata itu yang berulang-ulang keluar di antara sedu sedannya. Bahu Rafa berguncang hebat, air matanya membasahi batu nisan dingin yang kini dipeluknya erat. Air mata kepedihan, kehilangan serta penyesalan berbaur menganak sungai sebelum akhirnya perlahan surut. Digantikan dengan setitik kelegaan dan rasa damai yang muncul begitu saja.

Tidak akan ada yang mengerti. Tidak pula Aya atau siapapun. Namun bagi Rafa, surat dari ibunya adalah harta karun tak ternilai.

Selongsong jiwa kosong seorang lelaki dua puluh sembilan tahun yang sekian lama terbelenggu rasa bersalah karena pernah terpergok tidur dengan ayah tirinya sendiri, baru saja menerima kado terindah dari seorang ibu yang sudah lebih dulu sampai ke surga : sebuah pengampunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun