"Bukan. Ini Muara Sungai. Lautnya di sebelah sana," jawab teman saya yang sedang asyik foto-foto. Tangannya menunjuk sisi kanan jalanan aspal mirip jembatan yang ujungnya adalah tempat kapal berlabuh. "Masih jauh...."
Saya manggut-manggut, dan kembali larut menikmati maha karya pahatan tangan Tuhan yang luar biasa ini. Ah, bersyukurnya diberi kesempatan merasakan semua ini... perasaan itu lhoo, seperti ada banyak balon warna-warni yang mengembang di dalam dada.
Sayangnya, balon-balon itu dipaksa langsung mengempis oleh ajakan pulang teman saya. Hadeeeh, merusak kesenangan saja manusia satu ini. Ya ampun, baru juga di sini beberapa menit. Saya belum sempat tanya-tanya dengan pengelola pelabuhan, saya belum punya cukup data untuk dijadikan reportase. Saya bahkan belum tahu berapa lama perjalanan ke Bangka, atau berapa tarifnya. Di atas semua itu, saya belum puas foto-foto untuk stok di blog dan instagram.
Tapi mau bagaimana lagi? Saya kan memang tidak punya pilihan lain. Â Memangnya saya bisa pulang sendiri kalau sampai ditinggal dia?
Ah. Menyebalkan!
"Sudah. Ntar kan bisa ke sini lagi. Deket ini kok... next time kita bakal seharian. Dari pagi, jadi ga buru-buru begini," janjinya.
Dan begitulah, perjalanan menyenangkan ini harus berakhir antiklimaks (karena buru-buru pulang). Tapi toh tidak mengurangi fakta bahwa kesuntukan saya sudah berkurang drastis. Otak dan hati saya sudah fresh lagi.
Seperti biasa, perjalanan pulang terasa jauh lebih singkat. Mendung yang mengintai sejak masih di pelabuhan menjelma jadi rintik hujan yang temani kami di sepertiga jalan pulang.
Gigil dan basah dipastikan bertransformasi jadi demam, flu, dan sakit kepala pada malam harinya. Mereka berkolaborasi sempurna dengan sakit pinggang, nyeri di tengkuk dan pegal-pegal yang mendera sekujur tubuh.
Tapi seperti yang Edward Elric bilang, melakukan perjalanan tapi takut dengan rasa sakit mah mending tidur di rumah saja.Â
*