Mohon tunggu...
Ajeng Arainikasih
Ajeng Arainikasih Mohon Tunggu... Sejarawan - Scholar | Museum Expert | World Traveller

Blogger - Writer - Podcaster www.museumtravelogue.com www.ajengarainikasih.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Indigenous Australians dan Representasinya di Museum

10 Mei 2020   12:41 Diperbarui: 10 Mei 2020   18:35 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indigenous Australians want input into the new Closing the Gap approach | https://probonoaustralia.com.au/news

Setahu saya di AGSA ada lukisan-lukisan cat air karya Albert Namatjira (b. 1902 - d. 1959). Albert Namatjira merupakan salah satu seniman Indigenous Australia yang cukup ternama karena gaya lukisannya yang berbeda. Di tahun 1930-1950-an ia sudah melukis pemandangan Australia menggunakan cat air dalam gaya lukisan Eropa. 

AGSA juga punya koleksi lukisan-lukisan akrilik karya Emily Kame Kngwarreye (b. 1910 - d. 1996), seniman kontemporer Indigenous Australia dari Northern Territory yang terkenal dengan lukisan-lukisan yam dreaming-nya. 

Karya-karya Rover Thomas (b.1926 - d. 1998), pioneer indigenous artist dari Kimberley di Western Australia juga menghiasi ruang pamer dan ruang penyimpanan koleksi AGSA. 

Bahkan, di salah satu kegiatan perkuliahan, saya pernah harus menebak judul lukisan dan menginterpretasi lukisan karya Ian W. Abdulla (b. 1947 -  d. 2011), seniman Indigenous Australia yang berasal dari South Australia. Ian Abdulla terkenal dengan gaya melukis storytelling. 

Ia biasa menceritakan kehidupan masa kecilnya menangkap ikan, menangkap tikus, atau mengumpulkan telur angsa di tepi Sungai Murray. Kegiatan masa kecilnya tersebut kemudian divisualisasikan dalam bentuk lukisan yang dilengkapi dengan tulisan cerita singkat di lukisannya. 

Tentu saja masih banyak lagi karya-karya seniman Indigenous Australia lainnya yang menjadi koleksi AGSA dan tidak bisa saya paparkan satu persatu disini. 

Namun, saya ingat, ketika saya kuliah di Adelaide dahulu, AGSA memamerkan karya-karya tersebut di ruangan yang berbeda dengan karya-karya pelukis non-Indigenous Australia. 

Saat itu tata pamer permanen di AGSA dibagi menjadi beberapa bagian sesuai area atau karakter lukisan: European Art, Australian Art, Australian Indigenous Art, Asian Art dan Decorative Art. 

Kini, apabila "mengintip" di website AGSA, tata pamer museum sudah diubah. Karya-karya seniman Australia kulit putih maupun indigenous artists tidak lagi dipisah-pisah dalam ruangan yang berbeda, tetapi dicampur dijadikan satu. 

Ditata sesuai kronologi sejarah nasional Australia. Selain itu, informasi di website AGSA juga ada yang dialih-bahasa-kan kedalam Bahasa Kaurna, bahasa penduduk asli di Adelaide. Dan sejak tahun 2015 AGSA setiap tahun selalu menyelenggarakan Tarnanthi, Festival of Contemporary Aboriginal and Torres Strait Islanders Art. 

Dua belas tahun berlalu sejak saya lulus kuliah, kini saya melihat bahwa AGSA tampaknya cukup berubah. AGSA menjadi lebih peduli dengan Australian Indigenous Art, lebih mengangkat, menghormati, dan berusaha menjadikannya sejajar dengan Australian Art secara umum.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun