Dalam periode kedua kepemimpinannya pada tahun 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif proteksionis yang luar biasa drastis. Antara Januari hingga April 2025, tarif efektif rata-rata impor AS melonjak dari 2,5% menjadi sekitar 27%---angka tertinggi dalam lebih dari satu abad. Kebijakan ini menjadi bentuk kontemporer dari perang dagang, yang tidak hanya berdampak ke Tiongkok sebagai target utama, tetapi juga menyentuh ekonomi regional ASEAN yang selama ini terintegrasi dalam jaringan global perdagangan dan manufaktur.
Di sisi lain, negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, sedang menempuh jalan kedaulatan ekonomi digital melalui kebijakan sistem pembayaran nasional seperti GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) dan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Melalui analisis kritis dengan pendekatan "David vs Goliat," tulisan ini membedah bagaimana ASEAN sebagai "David" mencoba melawan dominasi Amerika Serikat---"Goliat"---yang tak hanya berupaya mengontrol aliran barang, tetapi juga sistem keuangan digital global.
1. Trump Tariff dan Implikasinya bagi ASEAN
Kenaikan tarif AS hingga 27% menyebabkan tekanan besar terhadap rantai pasok global, terutama bagi negara-negara ASEAN yang selama ini menjadi pusat manufaktur outsourcing bagi perusahaan-perusahaan multinasional. Produk-produk seperti elektronik, tekstil, dan komponen otomotif dari Thailand, Vietnam, dan Malaysia menjadi kurang kompetitif di pasar Amerika. Ekspor turun, neraca dagang terguncang, dan nilai tukar ikut tertekan.
Namun, ini bukan cuma soal tarif. Ini soal siapa yang mengendalikan sistem.
Saat produk ASEAN dibatasi masuk, secara bersamaan Amerika mempertahankan dominasi dalam sistem pembayaran global. Visa dan Mastercard, dua raksasa keuangan asal AS, tetap menikmati aliran fee miliaran dolar dari transaksi lintas negara, termasuk dari kita. Ini seperti permainan dua sisi: satu tangan menutup pintu perdagangan, tangan lain tetap memegang kendali atas arus uang.
Sebetulnya ASEAN tak tinggal diam. Indonesia lewat GPN dan QRIS, Malaysia dengan DuitNow, dan Thailand dengan PromptPay---semua sedang membangun sistem pembayaran mandiri. Tujuannya? Meninggalkan ketergantungan dan menciptakan kedaulatan digital.
Jadi, tarif Trump hanyalah gejala. Yang kita hadapi adalah "perang sistem" jangka panjang. Dalam menyikapi tarif Trump ini saatnya ASEAN melangkah lebih strategis: memperkuat pasar domestik, membangun kemandirian digital, dan bersatu dalam arsitektur ekonomi baru. Kalau tidak, kita akan terus jadi David yang terengah menghadapi Goliat yang tak pernah benar-benar tidur.
2. Kedaulatan Ekonomi Digital: GPN, QRIS, dan Jawaban ASEAN
Kebijakan Indonesia meluncurkan GPN (2017) dan QRIS (2019) adalah respons strategis terhadap dominasi sistem pembayaran global yang dikuasai oleh Amerika Serikat. Sebelum adanya sistem ini, transaksi domestik pun harus melalui infrastruktur luar negeri.
Bayangkan jika untuk membayar kopi di warung tetangga pun, kita harus "minta izin" ke luar negeri. Itulah kenyataan yang kita hadapi sebelum kehadiran GPN dan QRIS. Selama bertahun-tahun, hampir setiap gesekan kartu debit dan kredit di Indonesia melewati jaringan global seperti Visa dan Mastercard. Bukan hanya fee 1--3% yang mengalir ke luar negeri, tapi yang lebih mahal: data transaksi kita.
Pada 2017, Bank Indonesia meluncurkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Dua tahun kemudian, hadir Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Keduanya bukan sekadar inovasi teknologi. Ini adalah upaya merebut kembali kendali atas ekonomi digital kita sendiri. Transaksi kini lebih murah, lebih mudah, dan---yang terpenting---datanya tak lagi bocor ke luar.
UMKM di pelosok pun mulai merasakan manfaatnya. Mereka bisa bertransaksi digital tanpa biaya tinggi. Tak heran, QRIS melonjak penggunaannya selama pandemi, saat orang mulai enggan memegang uang tunai.
Gerakan ini ternyata tak berhenti di Indonesia. Negara-negara ASEAN lain juga meluncurkan standar pembayaran digitalnya masing-masing: PromptPay di Thailand, DuitNowQR di Malaysia, hingga VietQR di Vietnam. Kini, semua mulai dihubungkan dalam satu sistem: ASEAN Pay.
Inilah bentuk baru perlawanan ekonomi kawasan. Sebuah David digital yang mulai menantang Goliat global bernama Visa dan Mastercard. Jalan masih panjang, tapi satu hal pasti: Asia Tenggara sedang membangun masa depan ekonominya sendiri---berdaulat, inklusif, dan tak lagi bergantung.
3. Analisis: David vs Goliat dalam Arsitektur Finansial Global
Dalam kisah legendaris David dan Goliat, seorang pemuda kecil mampu mengalahkan raksasa dengan strategi cerdas dan alat sederhana. Narasi itu kini menemukan wujud barunya di Asia Tenggara. ASEAN, dengan populasi lebih dari 600 juta jiwa, tengah memainkan peran David dalam menghadapi dominasi finansial global ala Goliat.
Siapa Goliat? Ia adalah Amerika Serikat dan korporasi keuangannya seperti Visa, Mastercard, dan sistem pembayaran digital yang menjadi poros global. Selama ini, negara-negara berkembang bergantung pada infrastruktur yang mereka bangun---dan tentu, mereka ambil manfaat besar: fee transaksi, arus devisa, hingga data konsumen strategis.
Tapi zaman berubah. Negara-negara ASEAN mulai membangun sistem sendiri: GPN dan QRIS di Indonesia, PromptPay di Thailand, DuitNowQR di Malaysia. Sistem ini bukan cuma alat bayar, tapi juga simbol kedaulatan digital. Biaya lebih murah, data tetap di rumah sendiri, dan UMKM makin mudah masuk ke ekonomi digital.
Lihat bagaimana turis Thailand bisa beli kopi di Bali cukup dengan scan QR. Itulah ASEAN Pay in the making---interkoneksi lintas negara yang bebas dari dominasi raksasa global.
Apakah ini pertarungan sepadan? Belum tentu. Tapi seperti David, ASEAN punya senjata: inovasi, kolaborasi, dan semangat untuk berdiri di atas kaki sendiri. Dan setiap scan QR lokal yang kita lakukan hari ini, bisa jadi adalah batu ketapel yang kita lempar ke arah dominasi Goliat.
4. Kenapa Amerika Keberatan?
Amerika Serikat menunjukkan keberatan yang cukup serius terhadap sistem pembayaran digital seperti Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang dicanangkan oleh Indonesia, serta gerakan serupa yang berkembang di ASEAN. Meskipun terlihat sebagai kemajuan teknologi, keberatan ini sangat rasional jika dilihat dari sudut pandang kepentingan ekonomi dan geopolitik.
Sebelum ada GPN dan QRIS, setiap transaksi pembayaran digital yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia atau negara-negara ASEAN lainnya---baik lewat kartu kredit, debit, atau aplikasi dompet digital---selalu melibatkan jaringan besar seperti Visa dan Mastercard. Fee transaksi, yang sebesar 1-3%, secara otomatis mengalir ke korporasi asal Amerika tersebut. Dalam skala besar, tentu saja ini merupakan sumber pendapatan yang sangat signifikan.
Namun, dengan hadirnya GPN dan QRIS, aliran dana tersebut kini mulai terhenti. Selain itu, data konsumen yang dahulu menjadi barang berharga bagi perusahaan-perusahaan besar AS, kini tidak lagi dapat dikendalikan secara global. Data belanja, kebiasaan konsumsi, bahkan pola pembayaran masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai platform digital, kini menjadi aset yang tetap berada di dalam negeri.
Yang lebih mencemaskan bagi Amerika adalah ancaman terhadap dominasi dolar AS dalam transaksi lintas negara. Dengan berkembangnya sistem pembayaran lokal yang terhubung antarnegara ASEAN, peran dolar dalam transaksi regional semakin berkurang. Dalam jangka panjang, ini dapat melemahkan posisi dolar sebagai mata uang global utama, terutama di kawasan yang sangat potensial ini.
Secara keseluruhan, GPN dan QRIS tidak hanya menciptakan efisiensi, tetapi juga merupakan simbol kedaulatan finansial Indonesia. Ini adalah langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada sistem pembayaran global yang selama ini dikendalikan oleh negara-negara besar, terutama Amerika. Namun bagi Amerika, ini adalah ancaman nyata terhadap kekuatan ekonomi dan kontrol mereka di pasar global.
Penutup: Jalan Panjang Menuju Kedaulatan
Tarif Trump di satu sisi mungkin dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri AS, namun secara tidak langsung mendorong negara-negara ASEAN untuk mempercepat transformasi digital dan membangun kemandirian sistem keuangan. Layaknya David melawan Goliat, pertarungan ini bukan tentang kekuatan kasar, melainkan tentang keberanian dan kecerdasan strategis.
Melalui QRIS dan sistem sejenis, ASEAN tidak hanya membangun infrastruktur teknis, tetapi juga menyusun fondasi untuk tatanan ekonomi baru yang lebih adil dan berdaulat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI