Mohon tunggu...
aqmawar_065
aqmawar_065 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Televisi Indonesia Terlena oleh Rating

22 September 2015   13:34 Diperbarui: 22 September 2015   15:50 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah drama Korea dan India, saat ini pertelevisian Indonesia banyak dihiasi oleh drama Turki. Wajah televisi kita sudah semakin tak jelas lagi ke mana arahnya. Selain menayangkan banyak sinetron yang tidak mendidik, mereka juga berlomba-lomba untuk menayangkan drama Turki atau yang kita kenal dengan telenovela turki. Mereka menayangkan berbagai program acara tersebut hanya untuk kepentingan rating semata, sehingga kualitas dari program acaranya sendiri dikesampingkan.

Program televisi tidak berkualitas yang baru-baru ini ditayangkan oleh TransTV berjudul Cinta di Musim Cherry. Cinta di Musim Cherry merupakan telenovela Turki yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Soundtrack lagunya dikemas dengan sangat lucu dan menarik, sehingga membuat para penontonnya penasaran dengan telenovela ini. Telenovela tersebut menceritakan tentang kisah percintaan seseorang yang beranjak dewasa. Namun sayangnya, program acara ini ditayangkan pada pukul 11.30WIB mendekati waktu para siswa SD pulang sekolah. Sehingga para penikmatnya adalah ibu rumah tangga dan anak-anak di bawah umur.

Sumber gambar: bigwallpaper.in
Sumber gambar: bigwallpaper.in
Selain Cinta di Musim Cherry masih ada lagi program-program yang tidak berkualitas. Misalnya, Elif, Abad Kejayaan, Super Dede, High School Love Story, dan lain-lain. Acara tersebut tentunya banyak diminati oleh anak-anak. Padahal, televisi merupakan salah satu media yang paling berpengaruh terhadap pola berpikir anak dalam proses pembentukan realitas. Jadi, bila apabila anak menonton acara televisi yang buruk, dapat berakibat buruk juga terhadap pola berpikirnya.

Contoh buruknya seperti yang diberitakan Liputan.com (17/12/06). Seorang balita berusia tiga setengah tahun bernama Alan Dwi Kurniangga menjadi kekerasan yang dilakukan oleh teman sebayanya. Menurut para tetangga, bocah tersebut meninggal karena di-smackdown oleh Dimas, temannya sendiri. Alan sempat dirawat di rumah sakit selama 10 hari, namun nyawanya tak tertolong akibat pembengkakan jantung dan paru-paru. Suasana duka menyelimuti keluarga korban yang nampaknya belum dapat menerima keadaan. Saat itu smackdown sedang gencar-gencarnya ditayangkan di televisi. Banyak balita yang menjadi korban kekerasan akibat menirukan aksi smackdown tersebut.

Menurut Gebner dalam Morissan (2013), teori kultivasi memperkirakan dan menjelaskan pembentukan persepsi, pengertian dan kepercayaan mengenai dunia sebagai hasil mengonsumsi pesan media dalam jangka panjang. Media massa, khususnya televisi berperan penting atas realitas yang kita pikirkan. Kita akan cenderung menganggap apa yang kita lihat di televisi adalah realita yang sebenarnya. Kultivasi digolongkan menjadi 2 kategori penonton televisi, yaitu penonton ringan (light viewers) dan penonton berat (heavy viewers). Penonton ringan (light viewers) adalah kurang dari 2 jam setiap harinya. Sedangkan penonton berat (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4 jam. Mereka juga sering disebut sebagai “the television type”. Melihat teori yang sudah ada dan juga masalah di atas, maka terindikasi telah terjadi kultivasi di masyarakat kita.

Masih menurut Gebner dalam Morissan (2013), ada dua cara mengapa dapat terjadi kultivasi, yaitu mainstreaming dan resonansi. Yang pertama, mainstreaming adalah proses mengikuti arus utama yang terjadi ketika berbagai simbol, informasi dan ide yang ditayangkan TV mendominasi atau mengalalahkan simbol, informasi, dan ide yang berasal dari sumber lain. Artinya, masyarakat akan cenderung lebih percaya dan mengikuti realita seperti apa yang tergambar di televisi dari pada realita yang sebenarnya. Sedangkan yang kedua, resonansi terjadi ketika apa yang kita lihat di TV sama dengan realita yang ada di dunia nyata. Contohnya, ketika melihat adegan perampokan di TV, kita yang sudah pernah mengalami kejadian tersebut akan merasa bahwa kejadian perampokan itu terulang kembali, sehingga dapat menimbulkan trauma.

Contoh kasus kultivasi saat ini misalnya, apabila seorang siswa SD terlalu sering melihat telenovela dan sinetron-sinetron yang tidak berkualitas dan menggandung banyak sekali unsur bullying dan cinta, maka ia akan menganggap bahwa realitas yang sebenarnya adalah seperti apa yang digambarkan di televisi tersebut. Siswa SD tersebut terlalu dini untuk mengenal cinta, dan akan menganggap sekolah bukan lagi tempat untuk mencari ilmu, namun sebagai tempat berkelahi dan berpacaran.

Untuk itu, agar tidak terjadi kesalahan pola berpikir seperti di atas, kita harus selektif dalam memilih program acara televisi. Selalu awasi dan bimbing pula ketika anak kecil sedang menonton televisi, arahkan kepada mereka untuk menonton acara yang lebih mendidik dan juga lebih berkualitas. Untuk Komisi Penyiaran Indonesi (KPI) diharapkan pula agar lebih ketat dalam mengawasi berbagi program televisi yang ada, serta memberikan sanksi yang tegas terhadap program televisi yang menyalahi aturan.

Referensi: Morissan. 2013. Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. 
Gambar Telenovela Cherry Season: twitter.com/CDMCTTV

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun