Mohon tunggu...
Aprilia C. P. Putri
Aprilia C. P. Putri Mohon Tunggu... Pengamat Sosial

Dosen Sosiologi Universitas Terbuka dan Pengamat sosial (S1 dan S2 Universitas Indonesia), mengulas relasi antara manusia dan ruang hidupnya baik di tengah hiruk-pikuk kota maupun dalam tenangnya desa. Rumah, permukiman, dan lingkungan bukan hanya urusan fisik, tapi juga refleksi dari struktur sosial dan harapan hidup bersama.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Luas Bangunan Rumah Subsidi Jadi 18 m2? Ini Dampaknya Bagi Kehidupan Perkotaan

13 Juni 2025   14:51 Diperbarui: 13 Juni 2025   14:51 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar didesain dengan Canva.com oleh Penulis

Pemerintah saat ini tengah menggagas perubahan aturan mengenai ukuran rumah subsidi. Dalam draf kebijakan terbaru, rumah subsidi diusulkan memiliki luas tanah minimal 25 meter persegi dan luas bangunan minimal 18 meter persegi. Ini merupakan penyesuaian signifikan dari ketentuan sebelumnya yang menetapkan luas minimal tanah sebesar 60 meter persegi dan bangunan 21 meter persegi.

Pengurangan ini disebut-sebut sebagai upaya adaptasi terhadap keterbatasan lahan di kawasan perkotaan. Selain itu, desain rumah yang lebih padat dan efisien diharapkan bisa mendorong pemerataan akses hunian, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di kota-kota besar. Kebijakan ini juga dikaitkan dengan upaya menyesuaikan standar hunian dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Namun, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar dari kacamata sosial-spasial dan sosiologis: apakah ukuran tersebut masih manusiawi? Apakah cukup untuk menjalani kehidupan keluarga yang layak dan bermartabat? Bagaimana keberlanjutan dan kemungkinan rumah tumbuh di masa depan?

Pendekatan Sosial-Spasial: Ketika Ruang Tak Sekadar Ukuran

Dalam kajian sosial-spasial, rumah bukan sekadar bangunan fisik, melainkan ruang sosial tempat terjadinya berbagai interaksi dan relasi sosial. Lefebvre (1991) menyebutkan bahwa ruang diproduksi melalui praktik sosial, bukan hanya lewat dimensi geometris. Artinya, rumah 18 m bukan sekadar kecil secara fisik, tetapi juga berpotensi "mengecilkan" ruang sosial keluarga yang idealnya berkembang dinamis.

Selain itu, akses terhadap ruang tumbuh menjadi penting. Rumah subsidi sering kali ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang masih memiliki potensi ekonomi bertumbuh. Dalam konteks ini, rumah yang disubsidi negara idealnya memiliki peluang untuk dikembangkan di masa depan. Luas lahan 25 m tentu sangat membatasi peluang tersebut. Bahkan, pengembangan vertikal (rumah bertingkat) pun belum tentu layak, terutama jika infrastruktur awal tidak mendukung atau biaya tambahan tidak terjangkau.

Dampak Positif: Meningkatkan Aksesibilitas di Kawasan Perkotaan

Kebijakan ini sebenarnya dapat dipandang sebagai langkah adaptif terhadap realitas krisis lahan perkotaan. Dengan lahan yang semakin terbatas dan harga tanah yang melonjak, maka pengurangan ukuran bisa memperluas akses hunian bagi MBR yang saat ini makin terpinggirkan ke kawasan suburban.

Selain itu, dorongan pemerintah terhadap desain rumah mungil juga dapat membuka jalan bagi inovasi arsitektur yang lebih fungsional dan efisien. Negara-negara seperti Jepang telah lebih dahulu mengembangkan konsep microhousing atau compact living yang berhasil menjawab tantangan keterbatasan lahan melalui desain kreatif dan pemanfaatan ruang vertikal.

Dampak Negatif: Kelayakan Huni dan Kesejahteraan Sosial

Di sisi lain, bangunan seluas 18 m sangat minim bagi keluarga dengan lebih dari dua anggota. Berdasarkan standar SDGs, kebutuhan ruang minimal per individu adalah 7,2 m, artinya rumah 18 m hanya layak untuk dua sampai tiga orang secara teoritis. Jika penghuni lebih dari itu, maka ruang akan menjadi sesak dan rentan menimbulkan tekanan psikologis maupun konflik rumah tangga.

Dari sisi kesejahteraan sosial, rumah yang terlalu kecil juga membatasi kemungkinan pemisahan ruang privat dan publik di dalam rumah. Hal ini berdampak pada kurangnya ruang belajar, bekerja, atau beristirahat yang layak, terutama dalam situasi krisis seperti pandemi COVID-19, yang menunjukkan pentingnya rumah sebagai tempat multifungsi.

Ketimpangan Sosial dan Fragmentasi Spasial

Kebijakan ini juga berpotensi memperbesar fragmentasi spasial antara kelas ekonomi. MBR tinggal di rumah yang makin kecil dan padat, sementara kelas menengah-atas tetap memiliki akses terhadap lingkungan hijau, ruang luas, dan hunian sehat. Hal ini memperkuat polarisasi sosial dalam bentuk spasial, yang bisa berujung pada penurunan kohesi sosial dan meningkatnya rasa ketidakadilan.

Kecil Boleh, Tapi Layak Harus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun